Kamis, 02 Januari 2014

PANDUAN KHUTBAH MENUJU TERBENTUKNYA KHATIB YANG PROFESIONAL



Oleh: Mohammad Al Farabi, M.Ag
(Pembina Kursus Kader Dakwah MAN 2 Model Medan)


A. PENDAHULUAN
            Khutbah merupakan bagian penting dari aktivitas ibadah berjama’ah dan rukun yang tidak dapat dipisahkan, terutama pada Shalat Fardhu Jum’at, ‘Idul Fitri, dan ‘Idul Adha. Khutbah berbentuk pesan (taushiah) yang disampaikan oleh seorang khatib (penyampai pesan) terhadap jamaah shalat yang berhaluan mengajak para pendengar agar memperbaharui dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Keberadaan khutbah dapat memotivasi orang untuk lebih bergairah mengikuti shalat berjamaah dan menggiring jamaah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
            Khutbah yang disampaikan dengan  hikmah,[1] bahasa yang tegas dan lugas, bacaan ayat dan hadis yang  fashih, tidak hanya membuat orang terkesima mendengarkannya, tetapi juga dapat menjadi obat penyejuk rohani dan ketenangan hati bagi para jama’ah, sehingga akan mendorong bangkitnya spirit ketakwaan yang lebih maksimal. Terlebih lagi, dorongan itu akan semakin kuat lengket dan membekas di hati jamaah apabila khatib yang menyampaikannya adalah pemuka agama yang berilmu, shaleh dan kharismatik, sehingga untaian mutiara hikmah yang disampaikan selaras dengan kepribadian dan perbuatannya, dan dari aspek inilah para jamaah dapat mengamalkan apa yang disampaikannya dan meneladani akhlak serta sikap hidupnya.
            Fenomena yang muncul dalam dunia khutbah saat ini bukan terletak pada sulitnya mencari khatib yang pandai berbicara, shaleh dan kharismatik, tetapi sulitnya menemukan khatib-khatib teladan yang menguasai seluruh aspek ilmu yang berkaitan dengan khutbah dan pengamalan kaifiyat (tata khutbah) yang benar dan relevan dengan Sunnah yang diajarkan Rasulullah saw. Berdasarkan pertimbangan inilah, dipandang perlu mempersiapkan generasi muda untuk memiliki akumulasi keterampilan berkhutbah sekaligus membina kepribadiannya melalui pelatihan atau kursus khatib, agar dapat menjadi “Khatib Teladan” yang tidak hanya relevan dalam pengamalan Sunnah Rasul saw., tetapi juga menjadi penyampai gagasan brillian yang dapat diproyeksikan untuk pembangunan Sumber Daya Muslim berkualitas demi kejayaan serta kemuliaan Islam dan kaum Muslimin di masa depan (‘izzul Islam wa al-Muslimin).

B. PENGERTIAN KHUTBAH
            Khutbah berasal dari akar kata “Khataba” yang artinya mengucap atau berpidato.[2] Dalam Kamus Lisan al-‘Arab, kata khutbah diartikan sebagai “nama dari aktivitas pembicaraan yang disampaikan oleh seorang pembicara (al-khatib)”.[3] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, khutbah adalah  pidato terutama yang menguraikan ajaran agama.[4] Orang yang menyampaikan khutbah disebut dengan khatib. Khutbah sering dipahami sebagai dakwah atau  tabligh yang diucapkan dengan lisan pada upacara-upacara agama seperti khutbah Jum’at, khutbah dua hari raya, khutbah nikah, dan lain-lain yang memiliki corak syarat dan rukun tertentu.[5]
            Sebagai bagian dari dakwah,  khutbah merupakan upaya untuk memotivasi orang agar berbuat baik dan mengikuti jalan petunjuk (agama), serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[6] Selain term khutbah, dalam dunia dakwah Islam dikenal pula istilah tabligh,[7] nashihah,[8] taushiah,[9]  tabsyir,[10] dan tandzir.[11]
            Istilah khutbah bukanlah pidato biasa seperti yang sering ditampilkan pada kegiatan-kegiatan umum, tetapi selain memiliki aturan dan ketentuan yang umumnya berlaku dalam pidato biasa, juga harus dilandasi dengan seperangkat dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. serta  wawasan keilmuan dan nilai-nilai keislaman yang dapat mengungkapkan gagasan dan pemikiran yang bersifat informatif, inspiratif, persuasif, dan argumentatif.




C. RUKUN DUA KHUTBAH JUM’AT
            Khutbah Jum’at memiliki beberapa rukun, yaitu  sesuatu yang wajib ada/dipenuhi secara mutlak, dan apabila salah satu dari unsur rukun tidak terpenuhi, maka khutbah Jum’at  beserta  shalatnya tidak sah. Khutbah Jum’at memiliki 6 (enam) rukun, yaitu sebagai berikut:
1. Mengucapkan puji-pujian kepada Allah (lafal hamdalah). Tidak sah khutbah  jika khatib tidak memulai khutbah dengan hamdalah, sesuai dengan penjelasan dari Nabi saw.:
حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ قَالَ زَعَمَ الْوَلِيدُ عَنِ الأَوْزَاعِىِّ عَنْ قُرَّةَ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «كُلُّ كَلاَمٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَهُوَ أَجْذَمُ»(اخرجه ابو داود).[12]   

Abu Taubah telah menceritakan kepada kami dari Za’am al-Walid dari Al-Auza’i dari Qurrah dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah: Rasulullah saw. bersabda: “Setiap perkataan (khutbah) yang tidak dimulai dengan kalimat “alhamdulillah”, maka ia terputus (tidak sah)” (HR. Abu Dawud).

2. Shalawat atas Rasulullah saw. Sebagian ulama mengatakan bahwa shalawat ini tidak wajib. Dengan demikian, sebagian ulama memandang bahwa shalawat atas Rasul saw. tidak termasuk rukun khutbah.
3. Mengucapkan syahadat (menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya melainkan Allah dan menyaksikan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan-Nya). Sabda Rasulullah saw.:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالاَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِىَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ»(اخرجه ابو داود).[13]
 “Musaddad dan Musa ibn Isma’il telah menceritakan kepada kami dari ‘Abd al-Wahid ibn Ziyad, ‘Ashim ibn Kulaib dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi saw. bersabda: “Tiap-tiap khutbah yang tidak ada syahadatnya adalah seperti tangan yang terpotong” (HR. Abu Dawud).

4. Berwasiat (bernasehat) dengan takwa dan menyampaikan pesan-pesan kebajikan yang perlu kepada pendengar, sesuai dengan tempat dan waktu, baik urusan agama maupun urusan dunia, seperti ibadah, kesopanan, pergaulan, perekonomian, pertanian, siasat, dan sebagainya, serta bahasa yang dipahami oleh pendengar.
5. Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu dari kedua khutbah. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
وَحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَحَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ كَانَتْ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- خُطْبَتَانِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ (اخرجه المسلم).[14]
Yahya ibn Yahya, Hasan ibn al-Rabi’, dan Abu Bakr ibn Syaibah menceritakan kepada kami dari Abu al-Ahwash dari Simak dari Jabir ibn Samurah, katanya: “Rasulullah saw. khutbah berdiri, beliau duduk di antara keduanya, lalu beliau membacakan beberapa ayat Al-Qur’an,dan memperingatkan manusia (HR. Muslim).

6. Berdo’a untuk mukminin dan mukminat pada khutbah yang kedua. Sebagian ulama berpendapat bahwa do’a dalam khutbah tidak wajib, sebagaimana juga dalam lain khutbah tidak wajib.

D. SYARAT KHUTBAH
            Khutbah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Kedua khutbah pada Shalat Jum’at dilakukan setelah tergelincir matahari, dan pada Shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha dilakukan pada pagi hari.
2. Sewaktu berkhutbah hendaklah berdiri jika mampu.
3. Khatib hendaklah duduk di antara dua khutbah.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ قَالَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ خُطْبَتَيْنِ يَقْعُدُ بَيْنَهُمَا (اخرجه البخاري).[15]
“Musaddad telah menceritakan kepada kami dari Bisyr ibn Mufadhdhal dari ‘Ubaidullah dari Nafi’ dari ‘Abdullah, ia berkata: “Nabi saw. berkhutbah dengan dua khutbah, ia duduk di antara keduanya” (HR. Bukhari).

4. Khutbah hendaklah dengan suara keras yang kira-kira terdengar oleh sejumlah bilangan orang yang sah Jum’at dengan mereka, karena maksud dari pelaksanaan khutbah itu adalah untuk pelajaran dan nasehat kepada pendengar.
5.  Khutbah hendaklah berurutan, baik rukun, jarak keduanya, maupun antara keduanya dengan shalat.
6.  Khatib harus suci dari hadas dan najis.
7.  Khatib harus menutup auratnya.

E. SUNNAT YANG BERKAITAN DENGAN KHUTBAH
            Untuk mencapai keutamaan Khutbah, seorang khatib disunnatkan agar menerapkan beberapa amalan sebagai berikut:
1. Hendaklah khutbah itu dilakukan di atas mimbar atau di tempat yang tinggi. Hal ini didasarkan pada kebiasaan Rasulullah saw. berkhutbah di atas mimbar tiga tangga yang tempatnya di sebelah kanan pengimaman.
2. Khutbah itu diucapkan dengan kalimat fasih, terang, mudah dipahami, sederhana, tidak terlalu panjang, dan tidak pula terlalu pendek.
3. Khatib senantiasa tetap menghadap kepada orang banyak,  jangan berputar-putar, karena yang demikian itu tidak disyari’atkan.
4.  Membaca surat Al-Ikhlas sewaktu duduk di antara dua khutbah.
5. Menertibkan tiga rukun, yaitu dimulai dengan puji-pujian, kemudian shalawat atas         Nabi saw., kemudian berwasiat (bernasehat) takwa kepada Allah. Selain itu, tidak ada tertib yang sifatnya mengikat.
6. Pendengar hendaklah diam serta memperhatikan khutbah. Banyak ulama yang mengatakan haram bercakap-cakap ketika mendengarkan khutbah.  Hal demikian didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ. وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ» (اخرجه البخاري).[16]
Yahya ibn Bukair telah menceritakan kepada kami dari Al-Laits dari ‘Uqail dari Ibn Syihab dari Sa’id ibn Musayyab dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw. telah berkata: “Apabila engkau katakan kepada temanmu pada hari Jum’at “diam” sewaktu imam berkhutbah, maka sesungguhnya telah binasalah Jum’atmu” (HR. Bukhari).

7. Khatib hendaklah memberi salam. Hal ini dapat dirujuk dari Sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ مُهَاجِرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِىَّ –صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ سَلَّمَ (اخرجه ابن ماجه).[17]
Muhammad ibn Yahya telah mengatakan kepada kami dari ‘Amru ibn Khalid dari       Ibn Lahi’ah dari Muhammad ibn Zaid ibn Muhajir dari Muhammad ibn al-Munkadir dari Jabir ibn ‘Abdullah bahwa Nabi saw. apabila naik ke mimbar ia mengucapkan salam” (HR. Ibn Majah).

8. Khatib hendaklah duduk di atas mimbar sesudah memberi salam, dan sesudah duduk itulah azan dilakukan. Petunjuk ini diperoleh dari hadis berikut:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُ إِذَا جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَإِذَا نَزَلَ أَقَامَ ثُمَّ كَانَ كَذَلِكَ فِي زَمَنِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا(اخرجه النسائي).[18]
Muhammad ibn ‘Abd al-A’la telah memberitakan kepada kami dari Al-Mu’tamir dari ayahnya dari Al-Zuhri dari Al-Sa’ib ibn Yazid, ia berkata: Bilal mengumandangkan azan apabila Rasulullah saw. telah duduk di atas mimbar pada hari Jum’at, maka apabila Rasulullah telah turun (dari mimbar), maka ia membaca iqamat. Kemudian hal yang demikian itu berlangsung pada zaman Abu Bakar dan Umar ra.” (HR. Al-Nasa’i).

F. HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN KHATIB DALAM BERKHUTBAH
            Khutbah, baik yang dilakukan pada hari Jum’at, ‘Idul Fithri, maupun ‘Idul Adha, bukanlah berpidato biasa. Khutbah merupakan bagian ibadah yang urgen (penting) bahkan terkait erat dengan sah atau tidaknya shalat yang menyertainya. Karena itu, khutbah memiliki kode etik dan rambu-rambu yang telah ditentukan oleh orator  ulung dan penghulu para Nabi,  yakni Muhammad saw. Dengan berpedoman kepada ketentuan yang telah ditetapkan Nabi saw., praktek khutbah yang diterapkan oleh seorang khatib dapat relevan dengan syari’at dan terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimpangan.
            Untuk menghindari kesalahan dan penyimpangan dalam aktivitas khutbah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang khatib, sebagaimana uraian berikut:

1.      Menghindari pengantar khutbah dengan sanjak, syair, dan puisi
Nabi saw. memulai khutbahnya dengan mengucapkan tahmid, yaitu kalimat pujian terhadap Allah. Karena itu, tidak ditemukan dasar dari Sunnah Nabi saw. yang membenarkan iringan mukaddimah khutbah dengan sanjak, syair, dan puisi. Dalam hadis, hanya ditemukan Rasullah saw. memulai khutbah dengan kalimat tahmid, sebagaimana hadis berikut:
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنِى أَبِى عَنْ جَدِّى أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ أَبِى الأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ أُوتِىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- جَوَامِعَ الْخَيْرِ وَخَوَاتِمَهُ - أَوْ قَالَ فَوَاتِحَ الْخَيْرِ- فَعَلَّمَنَا خُطْبَةَ الصَّلاَةِ وَخُطْبَةَ الْحَاجَةِ خُطْبَةُ الصَّلاَةِ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. وَخُطْبَةُ الْحَاجَةِ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (اخرجه ابن ماجه).[19]
Telah menceritakan kepada kami Hisyam ibn ‘Ammar dari ‘Isya ibn Yunus dari ayahku dari kakekku dari Abu Ishaq dari Abu al-Ahwash dari “Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata: “Rasulullah saw. telah memberikan himpunan kebaikan dan penutupnya, atau ia berkata dalam mukaddimah khutbahnya, kemudian mengajarkan kami khutbah shalat, khutbah al-hajah, khutbah shalat, yaitu penghormatan, shalawat, kebaikan, kesejahteraan, rahmat dan keberkatan Allah atas engkau wahai Nabi. Keselamatan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad saw. hamba dan utusan-Nya. Adapun Khutbah al-Hajah adalah: “Sesungguhnya pujian adalah milik Allah, kami memuji, meminta pertolongan dan ampunan, dan kami berlindung dari kejahatan nafsu dan perbuatan kami. Barangsiapa yang mendapat petunjuk dari Allah, tidak ada kekuatan yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang tersesat, tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, Ia-lah satu-satunya Tuhan, tiada sekutu bagi-Nya, dan Aku bersaksi bahwa Muhammad saw. hamba dan utusan-Nya” (HR. Ibnu Majah).

2.      Menghindari penggunaan hadis dha’if dan maudhu’ sebagai dalil
Sebelum berkhutbah, seorang khatib harus terlebih dahulu mengecek dan meneliti keabsahan hadis-hadis yang akan dipergunakan sebagai dalil dalam berkhutbah. Selama ini, banyak ditemukan khatib mempergunakan hadis-hadis dha’if (lemah) bahkan maudhu’ (palsu) dan justru dipergunakan sebagai alat meyakinkan kaum muslimin untuk merealisasikan ajaran yang terkandung di dalam hadis-hadis tersebut. Hal demikian muncul karena kecerobohan dan ketidakhati-hatian khatib dalam menyeleksi hadis. Akibatnya, kaum muslimin yang mendengarnya terjebak dalam kemudharatan yang besar, karena menjadikan kebatilan sebagai pedoman. Khutbah yang seharusnya bermanfaat positif  bagi umat, berbalik arah menjadi tuntunan yang berdampak negatif. Mengingat betapa besarnya bahaya ini, Nabi saw. mengancam keras merujuk hadis dha’if  dan maudhu’ yang dinisbahkan atas nama beliau, padahal beliau tiada mengungkapkan demikian. Peringatan keras Rasulullah saw. tersebut dapat dilihat dalam sebuah hadis: 
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ (اخرجه المسلم(.[20]
Barangsiapa menyampaikan hadis dariku yang diketahui bahwa hadis tersebut adalah dusta, maka dia termasuk salah seorang dari golongan pendusta”               (HR. Muslim).

Dalam redaksi lain, Rasulullah saw. juga telah mengingatkan melalui sebuah hadis:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ، يَعْنِي ابْنَ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنِي ابْنٌ لِكَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: عَلَى هَذَا الْمِنْبَرِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَدِيثِ عَنِّي، مَنْ قَالَ عَلَيَّ فَلاَ يَقُولَنَّ إِلاَّ حَقًّا، أَوْ صِدْقًا، فَمَنْ قَالَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ(اخرجه أحمـد).[21]
Muhammad ibn ‘Ubaid menceritakan kepada kami dari Muhammad (Ibn Ishak) dari Ibn Lika’b ibn Malik dari Abu Qatadah, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda di atas mimbar: “Hai sekalian manusia, hendaknya kalian tidak berlebih-lebihan meriwayatkan hadis dariku. Barangsiapa bertutur atas namaku, maka hendaknya ia tidak menyampaikan kecuali yang haq atau benar. Maka, barangsiapa menyampaikan hadis yang belum pernah saya katakan, maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka” (HR. Ahmad).

3.    Meringkas khutbah dan memperpanjang shalat
Seorang khatib hendaklah menyampaikan isi khutbahnya dengan ringkas, lugas, dan padat. Khatib tidak dibolehkan menyampaikan khutbahnya dengan durasi yang lebih panjang bila dibandingkan dengan durasi yang dipergunakan untuk melaksanakan shalat fardhu Jum’at dua rakaat yang dilakukan sesudahnya. Hal demikian telah dijelaskan oleh Nabi saw. dalam hadis berikut:
حَدَّثَنِى سُرَيْجُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبْجَرَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ وَاصِلِ بْنِ حَيَّانَ قَالَ قَالَ أَبُو وَائِلٍ خَطَبَنَا عَمَّارٌ فَأَوْجَزَ وَأَبْلَغَ فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ فَلَوْ كُنْتَ تَنَفَّسْتَ. فَقَالَ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ «إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ سِحْرًا» (اخرجه المسلم).[22]
Suraij ibn Yunus telah menceritakan kepada kami’Abd al-Rahman ibn ‘Abd al-Malik ibn Abjar dari ayahnya dari Washil ibn Hayyan bahwa Abu Wa’il menceritakan: “’Suatu ketika Ammar  berkhutbah di depan kami. Kemudian ia meringkas secukupnya. Ketika ia turun (dari mimbar), kami berkata, “Wahai Abu al-Yaqzhan! Anda menyampaikan khutbah secara ringkas dan pendek. Jika seandainya (anda mau), anda bisa memanjangkannya”. ‘Ammar menjawab, “Sungguh saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya lamanya shalat dan singkatnya khutbah (Jum’at) seseorang merupakan tanda yang mengindikasikan pemahaman seseorang. Maka, panjangkanlah shalat dan ringkaskanlah khutbah. Sungguh penjelasan (yang berlebihan)  bagaikan (ungkapan) sihir” (HR. Muslim).
Melalui hadis di atas dapat dipahami bahwa menyingkat khutbah dan memanjangkan shalat merupakan gambaran penguasaan keilmuan seorang khatib dan ukuran pemahamannya terhadap praktek khutbah yang relevan dengan Sunnah Nabi saw. Bila ditelaah uraian Su’ud ibn Malluh, meringkas khutbah dan memanjangkan shalat yang diterapkan Nabi saw. tersebut, memiliki beberapa alasan sebagai berikut:
a.  Shalat adalah tujuan utama ibadah Jum’at, sedangkan khutbah merupakan pengantar shalat Jum’at.
b.  Shalat Jum’at ditujukan kepada Allah yang Mahapencipta, sedangkan khutbah lebih ditujukan kepada manusia.
c. Shalat adalah ibadah pokok dan bersifat esensial (hakikat), sedangkan khutbah merupakan bagian dari ibadah shalat.
d.  Memanjangkan shalat bertujuan agar jamaah yang belum hadir dan bertempat tinggal jauh dari masjid dapat mengikutinya, sedangkan memperpendek khutbah dimaksudkan agar jama’ah mudah memahami dan mengingat pesan khutbah yang  disampaikan.
e. Panjangnya shalat dipandang sebagai keutamaan, karena shalat adalah zikir yang tertinggi nilainya, sedangkan dengan meringkas khutbah, khatib dapat terselamatkan dari hal-hal yang bertentangan dengan hakikat zikir dan terhindar dari ucapan sia-sia.
f.   Memanjangkan shalat dipandang sebagai latihan rohani untuk menentramkan jiwa dan mengkhusyu’kan hati, sedangkan meringkas khutbah adalah upaya efisiensi waktu agar jama’ah tidak merasa jemu dan bosan. Berkenaan dengan hal ini, Imam Al-Ghazali ra. menegaskan, “Seyogyanya khutbah disampaikan secara singkat, padat, dan lugas”.[23]

4.    Menyampaikan khutbah dengan semangat dan bahasa yang  tegas, serta menghindari humor
Dalam menyampaikan isi khutbah, seorang khatib harus bersemangat dan mampu pula membangkitkan semangat dan perhatian jama’ah yang sedang mendengar. Membangkitkan semangat harus dapat dilakukan dengan suara yang kuat, bahasa yang tegas, dan retorika (seni berbicara) yang baik. Khutbah yang baik adalah khutbah yang dapat menggugah kesadaran jama’ah untuk bangkit dari kealpaannya agar menjadi muslim yang bertakwa dan bermartabat di sisi Allah, serta bermanfaat dalam kehidupan sosial. Agar khutbah tersebut berkesan dan menggugah jamaah, khatib dilarang menggunakan kata-kata humor yang dapat membuat pendengar tertawa yang berakibat rusaknya ibadah, baik pada shalat Jum’at, Idul Fitri, maupun Idul Adha. Pemahaman terhadap hal demikian dapat diperhatikan melalui hadis berikut ini:
وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْش (اخرجه المسلم)[24] 
Muhammad ibn al-Mutsanna dari ‘Abd al-Wahhab ibn ‘Abd al-Majid dari Ja’far ibn Muhammad dari ayahnya dari Jabir ibn ‘Abdullah, ia berkata: “Rasulullah saw. apabila berkhutbah kelihatan merah kedua matanya, suaranya keras, dan semangatnya bangkit bagaikan seorang panglima yang memperingatkan kedatangan musuh”       (HR. Muslim).

5.      Menghindari tergesa-gesa dalam menyampaikan khutbah kedua dan tidak membatasinya pada shalawat dan do’a
Khatib harus menyeimbangkan antara penyampaian khutbah pertama dan khutbah yang kedua. Kedua khutbah harus disampaikan dengan tenang dan lantang, tanpa ada unsur tindakan dan sikap khatib mengurangi “hak penyampaian” pada khutbah kedua. Realita yang ditemukan di masyarakat, banyak khatib yang hanya memandang penting khutbah pertama saja dan agak mengabaikan khutbah kedua. Kondisi demikian terlihat pada khatib yang hanya teratur, tenang dan lantang dalam menyampaikan isi khutbah pertama, namun pada khutbah kedua, ia menyampaikan dengan cepat dan suara yang tidak lantang. Praktek seperti inilah yang bertentangan dengan Sunnah Nabi saw. Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa di antara hal-hal yang dimakruhkan selama berkhutbah adalah tergesa-gesa dalam menyampaikan khutbah kedua dan tidak melantangkan suara ketika menyampaikannya.[25]

6.      Tidak mengulas topik politik
Khatib harus menghindari memilih dan mengangkat topik khutbah yang tidak memiliki landasan syari’at, di antaranya membahas dunia politik yang tidak menggiring kaum Muslimin untuk bertakwa. Jamaah hanya dijejali oleh jargon-jargon dan pemikiran politik yang dikutip dari koran, majalah, dan televisi, namun materi khutbah kering dari ayat Al-Qur’an dan Hadis/Sunnah. Untuk menjauhi praktek buruk dalam berkhutbah tersebut, setiap khatib harus memperhatikan deskripsi umum dari lingkup materi yang dapat disampaikan dalam khutbah sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini:
1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar mengenal Allah dan bertakwa kepada-Nya.
2. Mengajarkan berbagai prinsip dasar Islam pada masyarakat, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat.
3.  Mengajak masyarakat untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
4.  Memotivasi masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
5. Menganjurkan masyarakat agar bekerja sama dalam hal kebaikan, menjaga amanah, dan menumbuhkan semangat persaudaraan.
6. Membersihkan hati masyarakat dari berbagai mitos negatif yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam keyakinan sesat.
7. Mengutip sya’ir dimaklumi hanya sekedar mendukung gagasan khutbah.
 8. Memelihara sikap agar tidak berlebih-lebihan dalam khutbah.[26]

7.      Mengamalkan Surah-surah yang disunnahkan dibaca dalam shalat Jum’at
Setelah selesai berkhutbah pada Shalat Jum’at, khatib yang merangkap sebagai Imam hendaklah memilih dan mempergunakan surah-surah dalam shalat berjamaah sesuai dengan ketentuan yang disunnahkan Nabi saw. Demikian pula pada shalat berjamaah ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Dalam hadis riwayat ‘Abdullah ibn Maslamah, didapati informasi bahwa sejumlah sahabat mencontoh kebiasaan Nabi saw. dalam shalat Jum’at membaca Surat Al-Jumu’ah setelah Fatihah pada rakaat pertama, dan membaca Surah Al-Munafiqun pada rakaat kedua. Hal ini dijelaskan melalui hadis:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ -وَهُوَ ابْنُ بِلاَلٍ- عَنْ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِى رَافِعٍ قَالَ اسْتَخْلَفَ مَرْوَانُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَلَى الْمَدِينَةِ وَخَرَجَ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى لَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ الْجُمُعَةَ فَقَرَأَ بَعْدَ سُورَةِ الْجُمُعَةِ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ (إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ) -قَالَ- فَأَدْرَكْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ حِينَ انْصَرَفَ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّكَ قَرَأْتَ بِسُورَتَيْنِ كَانَ عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ يَقْرَأُ بِهِمَا بِالْكُوفَةِ. فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ (اخرجه المسلم).[27]
’Abdullah ibn Maslamah ibn Qa’nab menceritakan dari Sulaiman (Ibn Bilal) dari Ja’far dari ayahnya dari Ibn Abu Rafi’, ia berkata:”Abu Hurairah telah menggantikan Marwan (sebagai khatib) di Madinah, dan kembali ke Makkah lalu shalat Jum’at bersama kami, ia membaca Surah Al-Jumu’ah pada rakaat pertama dan pada rakaat terakhir ia membaca “Idza Ja’akal Munafiqun (Surah Al-Munafiqun). Ketika Abu Hurairah selesai mengerjakan shalat, saya datang menghampiri dan berkata, “Wahai Abu Hurairah, sungguh anda telah membaca surah yang pernah dibaca oleh Ali di Kufah?” Abu Hurairah menjawab, “Sesungguhnya  saya mendengar Rasulullah saw. membaca kedua surat tersebut ketika shalat Jum’at      (HR. Muslim).  

Selain itu, ditemukan pula riwayat bahwa Rasulullah saw. adakalanya membaca Surah Al-Jumu’ah setelah Fatihah pada rakaat pertama, kemudian dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Ghatsiyah pada rakaat kedua. Keterangan ini diperoleh dari hadis berikut:
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِىُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ سَعِيدٍ الْمَازِنِىِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ أَنَّ الضَّحَّاكَ بْنَ قَيْسٍ سَأَلَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ مَاذَا كَانَ يَقْرَأُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى إِثْرِ سُورَةِ الْجُمُعَةِ فَقَالَ كَانَ يَقْرَأُ هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ (اخرجه ابو داود).[28]
Al-Qa’nabi menceritakan dari Malik dari Dhamrah ibn Sa’id al-Mazinni dari ‘Ubaidillah ibn ‘Abdillah ibn ‘Utbah bahwa Al-Dhahhak ibn Qais, ia ditanyai Nu’man ibn Basyir: “Surah apa yang dibaca Rasulullah saw. (pada rakaat kedua) di saat Jum’at setelah Surah Jumu’ah?” Ia (Al-Dhahhak) menjawab: “Rasulullah membaca Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah.

     Pada riwayat lain, hadis yang dinukil Yahya ibn Yahya mengemukakan bahwa Rasulullah sering pula membaca Surah Al-A’la  setelah Fatihah pada rakaat pertama dan membaca Surah Al-Ghatsiyah pada rakaat kedua. Penjelasan demikian ditemukan pada hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَإِسْحَاقُ جَمِيعًا عَنْ جَرِيرٍ -قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ- عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْتَشِرِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَبِيبِ بْنِ سَالِمٍ مَوْلَى النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ (اخرجه المسلم).[29]
Yahya ibn Yahya, Abu Bakr ibn Abi Syaibah dan Ishaq menceritakan kepada kami dari Jarir dari Ibrahim ibn Muhammad ibn al-Muntasyir dari ayahnya dari Habib ibn Salim maula (budak) Al-Nu’man ibn Basyir dari Al-Nu’man ibn Basyir ia berkata: “Rasulullah saw. pada (shalat) dua hari raya dan Jum’at membaca Surat “Sabbihismarabbikal ‘A’la dan Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah. Al-Nu’man juga berkata: “Apabila berkumpul hari raya dan Jum’at pada suatu hari, ia (Rasulullah)  juga membaca kedua surah itu dalam kedua shalat (‘Id dan Jum’at). (HR. Muslim).”

Dengan merujuk kepada ketiga hadis shahih di atas, dapat disimpulkan bahwa         Nabi saw. membaca surah ba’da Fatihah pada Shalat Jum’at mempergunakan tiga variasi pilihan, yaitu membaca Al-Jumu’ah dan Al-Munafiqun, atau surah Al-Jumu’ah dan Al-Ghatsiyah, atau Al-A’la dan Al-Ghatsiyah. Karena itu, ketiga variasi tersebut dikategorikan Sunnah yang bebas dipilih oleh para imam yang memimpin Shalat Jum’at berjama’ah. Sementara untuk Shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, Nabi saw. sering mempergunakan Surah  Al-A’la pada rakaat pertama dan Surah Al-Ghatsiyah pada rakaat kedua.

8.      Menghindari membaca petikan ayat dengan suara berbeda
Pada umumnya ulama melarang dan tidak membenarkan para khatib ketika menyampaikan khutbah membaca ayat Al-Qur’an dengan intonasi suara yang berbeda antara penggalan ayat yang satu dengan penggalan lainnya pada suatu ayat yang sedang dibacakan. Terkadang khatib yang berbuat seperti itu bertujuan agar jama’ah terpesona dengan suaranya yang berirama dan menarik perhatian pendengar. Tindakan tersebut harus hindari oleh seorang khatib, karena Nabi saw. tidak pernah mencontohkan demikian.

9.      Berpesan dengan Surah Qaf ketika khutbah
Berpesan atau taushiah dengan muatan surah Qaf dalam praktek khutbah merupakan sunnah Nabi saw. Hal ini yang sering diabaikan oleh para khatib di zaman sekarang, bahkan  sebagian dari mereka ada yang sama sekali belum pernah mendapat informasi tentang kebiasaan Nabi saw. yang pada setiap khutbah Jum’at bertaushiah dengan sebagian ayat pada surah Qaf. Padahal kebiasaan demikian dapat ditemukan dalam hadis:
وَحَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ الأَنْصَارِىُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ زُرَارَةَ عَنْ أُمِّ هِشَامٍ بِنْتِ حَارِثَةَ بْنِ النُّعْمَانِ قَالَتْ لَقَدْ كَانَ تَنُّورُنَا وَتَنُّورُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَاحِدًا سَنَتَيْنِ أَوْ سَنَةً وَبَعْضَ سَنَةٍ وَمَا أَخَذْتُ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) إِلاَّ عَنْ لِسَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَؤُهَا كُلَّ يَوْمِ جُمُعَةٍ عَلَى الْمِنْبَرِ إِذَا خَطَبَ النَّاسَ (اخرجه المسلم).[30]
’Amru al-Naqid menceritakan kepada kami dari Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’d dari ayahnya dari Muhammad ibn ‘Amru ibn Hazm al-Anshary dari Yahya ibn ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Rahman ibn Sa’d ibn Zurarah dari Ummu Hisyam binti Haritsah ibn      Al-Nu’man, ia berkata:“Tidaklah saya mengambil “Qaf wal Qur’anil Majid, kecuali lisan Rasulullah yang selalu beliau baca pada setiap Jum’at ketika beliau berkhutbah kepada orang-orang di atas mimbar” (HR. Muslim).

Menurut Imam Al-Shan’ani dalam kitabnya Subul al-Salam, hadis di atas merupakan dalil ditetapkannya Surah Qaf sebagai bagian dari taushiah pada setiap khutbah Jum’at.[31] Para ulama dalam hal ini mengemukakan bahwa alasan pemilihan surah ini oleh Nabi saw. adalah karena muatannya menyinggung tentang kebangkitan manusia, kematian, nasihat, dan larangan yang keras. Beliau selalu menjaga dan mengamalkan surah ini sebagai pilihan adalah karena kandungan surah ini sangat tepat dan efektif dalam memberikan nasehat dan wejangan.[32]

10.  Tidak memulai Shalat Jum’at sebelum shaf lurus dan rapi
Sebelum memulai shalat Jum’at berjama’ah, khatib yang akan bertindak sebagai imam harus memerintahkan ma’mum untuk meluruskan dan merapikan shaf. Tidak dibenarkan imam terburu-buru memulai shalat dengan mengangkat takbir sebelum barisan ma’mum lurus dan rapi. Mengingat betapa pentingnya tugas imam dalam mengatur shaf dapat diperhatikan dari hadis Nabi saw.:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِى عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ أَبِى الْجَعْدِ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- «لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ» (اخرجه البخاري).[33]
Abu Walid Hisyam ibn ‘Abd al-Malik menceritakan kepada kami dari Syu’bah dari ‘Amru ibn Murrah dari Salim ibn Abi al-Ja’d dari Nu’man ibn Basyir, ia berkata: “Nabi saw. bersabda: Luruskanlah shaf kalian atau Allah yang akan mencerai-beraikan wajah kalian” (HR. Bukhari).


11.  Tidak menutup khutbah dengan lafaz innallaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan atau lafaz-lafaz lainnya
Kebiasaan para khatib menutup khutbahnya dengan lafaz innallaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan atau udzkurullah yadzkurkum atau lafaz-lafaz lainnya tidak ditemukan di dalam sunnah yang pernah dicontohkan Nabi saw. Penggunaan lafaz-lafaz ini muncul pada generasi setelah Nabi dan para sahabat, seperti lafaz innallaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan pertama kali ditampilkan oleh Umar  ibn ‘Abdul ‘Aziz untuk mengganti lafaz yang digunakan Bani Umayyah ketika menutup khutbahnya dengan mencela Ali ibn Abi Thalib. Sedangkan lafaz innallaha wamala’ikatahu yushalluna ‘alan Nabi yang dimunculkan oleh Al-Mahdi al-‘Abbasi. Karena itu, para khatib seharusnya mengetahui bahwa lafaz-lafaz tersebut bukanlah berasal dari Sunnah Nabi saw., sehingga tidak menjadikannya sebagai suatu kelaziman (kebiasaan).
  
12.  Memberikan khutbah yang menyentuh hati pendengar
Khatib harus berupaya menyampaikan isi khutbahnya dengan menyentuh hati pendengar, sehingga penyampaian materi khutbah berjalan efektif, menarik, dan relevan dari metode orasi yang dicontohkan Nabi saw. Khatib hendaknya membiasakan diri menggunakan ungkapan-ungkapan yang bervariasi, seperti penegasan, larangan, berita deskriptif, penolakan, motivasi, dan sebagainya. Dengan demikian khutbah menjadi lebih enak didengar, segar, dan menyentuh hati.

13.  Tidak mengawali khutbah Shalat ‘Id dengan takbir
Menurut Ibn Qayyim, semua khutbah yang dilakukan Nabi saw. dimulai dengan memuji Allah (kalimat tahmid). Tidak ada satu pun hadis yang menyatakan bahwa beliau mengawali khutbah ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha dengan bertakbir. Hadis yang diriwayatkan Ibn Majah hanya menjelaskan bahwa Nabi saw. banyak bertakbir di tengah-tengah khutbah dalam dua hari raya.,  yakni ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Namun hadis tersebut tidak menunjukkan bahwa beliau melakukannya ketika mengawali khutbah.


14.  Tidak mengadakan pengajian (halaqah) sebelum Khatib berkhutbah
Mengadakan pengajian (halaqah) dalam bentuk majelis ta’lim sebelum khatib menyampaikan khutbah di atas mimbar dilarang oleh Nabi saw. dalam salah satu hadisnya.
Majelis ta’lim yang dilakukan sebelum khatib berkhutbah dilarang, karena mengganggu jama’ah shalat Jum’at  untuk  berzikir, membaca Al-Qur’an, shalat sunnah, menertibkan shaf, dan mempersiapkan diri untuk menyimak khutbah yang diperintahkan Allah melalui perantaraan Rasul-Nya.
Jika syari’at memerintahkan agar khutbah disampaikan dengan ringkas agar tidak menimbulkan kejemuan dan sebagai bentuk perhatian terhadap orang-orang yang memilki kesibukan tersendiri, maka penyampaian pelajaran (ta’lim) sebelum khutbah Jum’at dan aktivitas lain semisalnya tentu saja “lebih dilarang”.

15.  Menyertakan dalil Al-Qur’an dan Hadis dalam khutbah
Dalil Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. adalah landasan yang paling utama dan kokoh dalam berkhutbah. Sebelum khatib menguraikan materi khutbahnya, khatib hendaklah terlebih dahulu menjelaskan kepada jama’ah topik apa yang akan dibahas atau masalah apa yang akan diulas. Kemudian khatib membacakan ayat Al-Qur’an sebagai landasan pembahasan yang dipandang relevan dengan topik yang disampaikan. Setelah itu, materi khutbah akan lebih mantap apabila dikemukakan dengan hadis-hadis pendukung atau pendapat para ulama terkemuka yang berkaitan dengan topik atau materi tersebut. Karena itu, seorang khatib harus menghindari penyampaian materi khutbah berdasarkan karangan dan ide pemikirannya sendiri tanpa mempergunakan dalil         Al-Qur’an dan Sunnah.

16.  Hendaklah Menyampaikan khutbah yang kontekstual
Khatib yang baik, cerdas dan ‘arif, adalah seorang da’i yang mampu menyampaikan materi khutbahnya relevan dengan fenomena dan kodisi yang dialami oleh masyarakat setempat, atau yang sedang hangat-hangatnya menjadi problematika yang dihadapi kaum Muslimin. Selain itu, gagasan yang disampaikan melalui materi khutbah tersebut mampu menjawab dan memberikan solusi terhadap permasalahan kontemporer yang sedang dihadapi umat, baik dalam lingkup duniawi maupun ukhrawi.
Khutbah yang efektif adalah khutbah yang relevan dengan konteks kehidupan zaman, tempat, situasi, dan kondisi yang sedang berlangsung. Ketika saat puasa Ramadhan misalnya, hendaknya seorang khatib menjelaskan hukum, tujuan, dan hikmah berpuasa, atau keistimewaan bulan Ramadhan, atau nilai pendidikan dan manfaat kesehatan yang terkandung dalam ibadah puasa itu. Kuranglah tepat konteksnya, jika pada saat Ramadhan itu yang dibahas oleh khatib tentang ibadah haji, atau materi yang tidak sesuai dengan musimnya.

17.  Tidak dianjurkan menoleh ke kanan dan ke kiri
Mayoritas ulama memandang “makruh” apabila khatib menyampaikan khutbah sambil menoleh ke kanan dan kiri.  Sebab hal ini selain bertentangan dengan sunnah, juga terkesan kurang beradab. Di samping itu, menoleh ke salah satu sisi, berarti menimbulkan kesan  bahwa ia tidak memperhatikan sisi yang lain. Hal demikian dapat dimaklumi karena ketika seorang khatib berpaling dari lawan bicara, maka hal itu tentu akan memutuskan komunikasi dan termasuk etika yang tidak baik. Jika ia menatap sepenuhnya, semua jamaah yang hadir akan mendengarnya. Namun jika ia menoleh ke kanan, maka jamaah di sisi kiri akan kurang mendengar. Begitu pula sebaliknya, jika ia menoleh ke kiri, maka jamaah di sisi kanan akan kurang menangkap suaranya.

18.  Bersikap tenang ketika berkhutbah
Dalam menyampaikan khutbah, khatib disunnatkan bersikap tenang, tidak melakukan gerakan-gerakan tubuh yang tidak diperlukan, seperti melenggak-lenggok, menghentakkan kaki, berteriak, dan sebagainya. Adapun yang dianjurkan menurut syari’at, khatib atau juru dakwah semestinya tidak menggerakkan kedua tangannya ketika menyampaikan khutbah. Menurut Imam Syafi’i, jika khatib tidak menopang dirinya dengan tongkat, sebaiknya ia tidak menggerakkan tubuh dan kedua tangannya. Hal itu bisa dilakukan dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya atau membiarkannya terjulur tenang di samping tubuh.[34]

19.  Menghindari mengobral ‘aib seseorang melalui khutbah
Meskipun khutbah adalah salah satu media untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, namun khatib sebagai juru dakwah tidak boleh menyerang seseorang secara terang-terangan dengan cara membeberkan kejelekan atau membuka ‘aib orang lain yang berakibat seseorang merasa terpojok dan malu di hadapan jama’ah. Padahal untuk masalah ini Nabi saw. telah berpesan kepada para sahabatnya tentang etika menasehati pejabat pemerintahan yang dapat dipahami melalui hadis berikut:
قال عياض لهشام: قد سمعنا ما سمعت، ورأينا ما رأيت، أولم تسمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «من أراد أن ينصح لذي سلطان بأمر فلا يبده له علانية، ولكن ليأخذ بيده فيخلو به، فإن كان قبل منه فذاك، وإلا قد كان أدى الذي عليه» (اخرجه الطبراني).[35]
’Iyadh berkata kepada Hisyam: “Sesungguhnya kami mendengar sesuatu yang engkau dengar, dan kami melihat sesuatu yang engkau lihat, atau tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw. bersabda:Barangsiapa ingin menasehati penguasa, maka janganlah ia mengungkapkannya secara terang-terangan. Tetapi, hendaknya ia menemuinya dan (menyampaikan nasehat) kepadanya saat sendirian. Jika ia menerima, maka itu sangat baik, namun jika ia tidak menerima, berarti ia telah melaksanakan kewajibannya” (HR. Al-Thabrani).

Adapun sikap yang baik dari seorang khatib ketika membahas penyimpangan atau kemunkaran yang terjadi di kalangan pejabat pemerintahan adalah dengan sindiran atau menyinggung pokok persoalan secara umum, tanpa harus menyatakannya secara terbuka, apalagi menyebutkan nama dan identitasnya.  

20.  Khatib tidak mengangkat tangan ketika berdo’a
Mengangkat tangan dalam berdo’a ketika khutbah bukan merupakan bagian dari Sunnah, karena itu, kebanyakan ulama berpendapat bahwa perilaku itu makruh. Dalam hal ini, Al-Baghawi mempertegas bahwa mengangkat tangan ketika berdo’a dalam khutbah merupakan perbuatan yang tidak mempunyai landasan syari’at. Adapun jika dilakukan ketika memanjatkan do’a  istisqa’, maka hukumnya sunnah. Karena itu,  jika khatib sedang memanjatkan doa istisqa’ pada khutbah Jum’at, hendaklah ia mengangkat kedua tangannya sebagaimana dilakukan oleh Nabi.[36]
Selain untuk keperluan do’a  istisqa’, maka pada khutbah-khutbah biasa lainnya, baik pada Jum’at,  ‘Idul Fitri maupun ‘Idul Adha, Nabi saw. hanya memberi isyarat dengan “mengangkat jari telunjuk kanannya yang terletak di samping ibu jari” tatkala memanjatkan do’a  ketika khutbah. Hal ini dapat dipedomani pula dari sebuah hadis yang berisi teguran Nabi saw. terhadap perilaku Marwan yang mengangkat tangan saat berdo’a pada khutbah Jum’at, sebagai berikut:
وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ (اخرجه المسلم).[37]
“Abu Bakr ibn Abu Syaibah menceritakan kepada kami dari ‘Abdullah ibn Idris dari Hushain dari ‘Umarah ibn Ru’aibah yang mengatakan bahwa ia melihat Bisyr ibn Marwan di atas mimbar (sedang berdo’a pada hari Jum’at) sambil mengangkat tangan. ‘Umarah ibn Ru’aibah pun berkata, “semoga Allah mencelakakan kedua tangan itu. Sungguh saya telah melihat Rasulullah saw. (ketika berada di atas mimbar) tidak berbuat lebih dari ini”. Ia memberi isyarat dengan jari telunjuk di samping ibu jari” (HR. Muslim).   



21.  Menghindari menyanjung nama penguasa dalam khutbah
Khatib dibolehkan mendo’akan para penguasa agar ia berada dalam kebaikan, tetapi tidak dibenarkan menyanjung dan menyebut-nyebut penguasa dengan sifat yang berlebih-lebihan ketika mendo’akannya. Bahkan, penguasa yang zhalim sekalipun dibolehkan mendo’akannya agar kembali pada kebaikan, dan menurut sebagian ulama justru sunnah hukumnya mendo’akan dengan tujuan kebaikan.

22.  Menghindari berdo’a menghadap kiblat ketika khatib berada di mimbar sebelum menghadap jama’ah
Para khatib harus menghindari kebiasaan berdo’a menghadap kiblat ketika berada di mimbar sebelum menghadap ke arah jama’ah. Ibn Taimiyah menyatakan bahwa hal demikian tidak mempunyai landasan dalil dari sumber mana pun. Ibn al-Aththar menegaskan perbuatan seperti itu merupakan bid’ah tercela yang sudah sejak lama diingkari oleh para ulama.[38]

23.  Tidak mentradisikan pakaian berwarna hitam ketika berkhutbah
Salah satu penyimpangan yang dilakukan khatib adalah mengenakan pakaian hitam sebagai tradisi atau kebiasaan berkhutbah pada daerah kampung tertentu. Sebaliknya disunnahkan bagi jama’ah ketika menunaikan ibadah Jum’at untuk mengenakan pakaian berwarna putih, apalagi bagi seorang khatib. Meskipun menggunakan pakaian berwarna lain tidak dilarang, tapi dalam kebanyakan praktiknya, Nabi saw. mengenakan pakaian berwarna putih. Tegasnya, walaupun mengenakan baju berwarna hitam dibolehkan, karena Nabi saw. pernah mengenakannya ketika berkhutbah, namun jika hal itu terus menerus menjadi kebiasaan bagi khatib Jum’at tanpa mengenakan pakaian dengan variasi warna lainnya, maka perbuatan demikian menjadi bid’ah.

24.  Tidak memperlambat langkah ketika naik ke mimbar dan tidak pula tergesa-gesa
Bagi khatib yang masih muda dan energik, tidak sepantasnya membuat jamaah panik dan lama menunggu, hanya karena ia harus menaiki tangga mimbar secara perlahan-lahan, laksana orang yang lanjut usia. Demikian pula, khatib juga dilarang tergesa-gesa atau terburu-buru naik ke tangga mimbar. Dalam setiap gerak, khatib mesti bersikap tenang dan berwibawa.


25.  Tidak mengeraskan suara ketika bershalawat
Mengeraskan suara ketika bershalawat bertentangan dengan tuntunan syari’at, karena tidak terdapat dalam sunnah atau kebiasaan yang diajarkan Nabi saw. Shalawat sama halnya dengan do’a,  yang  secara umum disunnahkan membacanya dengan suara lirih, bukan keras. Dalam praktek khutbah, Nabi saw. hanya mengeraskan suara ketika menyampaikan wejangan atau nasehat, karena tujuan dari khutbah intinya adalah nasehat. Nabi sendiri memerintahkan umatnya bershalawat kepadanya ketika melaksanakan shalat. Namun tidak ada dalil yang menganjurkan untuk mengucapkannya dengan suara keras, meskipun shalat tersebut termasuk shalat yang bacaannya dikeraskan, seperti fardhu Jum’at, Maghrib, Isya’, dan Subuh.

26.  Menghindari mengetuk mimbar tiga kali dengan tongkat ketika naik mimbar
Kebiasaan mengetuk mimbar tiga kali dengan tongkat ketika naik ke mimbar khutbah oleh sebagian besar ulama dipandang bid’ah. Setidak-tidaknya ada 3 (tiga) alasan yang tidak membenarkan khatib melakukan perbuatan tersebut, yaitu:
a. Perbuatan ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi saw., sebab semua ibadah hanya bisa diterapkan dengan meneladani beliau.
b.Mimbar adalah barang wakaf  yang harus dijaga. Tindakan mengetuknya pada setiap kali naik ke mimbar dapat merusak mimbar, meskipun ada kalangan yang membolehkan hal itu dilakukan, namun pendapat ini dimentahkan dengan dalil ittiba’ (mengikuti kebiasaan Rasulullah saw.).
c.Ketukan tersebut menimbulkan kegaduhan dan mengganggu kekhusyu’an dan kesakralan ibadah Jum’at.

27.  Menggunakan bahasa khutbah sesuai dengan kemampuan berpikir jama’ah
Khatib yang ‘arif adalah khatib yang memahami tingkat intelektualitas jama’ah yang menjadi objek dakwahnya, sehingga ia memilih pola bahasa yang digunakan dan materi yang disampaikan serta menerapkan metode yang tepat agar materi khutbah yang diuraikan dapat dipahami dengan mudah oleh jama’ah dan berkesan di hatisanubari mereka. Pemahaman yang baik dan materi yang berkesan inilah yang akan mampu memotivasi umat untuk bangkit dengan kesadarannya yang tulus, sehingga dapat mengamalkan sesuatu yang disampaikan khatib dalam upaya pembaharuan dan peningkatan ketakwaan kepada Allah swt.

28.  Menyampaikan apa yang telah diperbuat
Khatib adalah sosok yang diteladani umat, karena itu khatib yang baik adalah da’i yang konsisten antara sesuatu yang disampaikannya dengan apa yang diperbuatnya, atau lebih teladan lagi, apa yang dikhutbahkannya di depan jama’ah sudah terlebih dahulu dilakukan atau diamalkannya. Sejatinya, figur khatib model inilah yang harus dihasilkan oleh lembaga pengkaderan dakwah Islam. Khatib seperti inilah yang benar-benar takut dan waspada terhadap teguran keras dari Allah yang terdapat dalam Surah Al-Shaf ayat 2-3:
    
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.

Selain itu, Allah juga menegur dalam Surah Al-Baqarah ayat 44:
  }¨$¨Y9$# ÎhŽÉ9# 4 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÍÍÈ  
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al-Kitab, maka tidakkah kamu berpikir?”.

G. METODE DALAM KHUTBAH
            Secara umum, metode adalah cara untuk melakukan atau menyampaikan sesuatu.[39] Atas dasar ini dapat dipahami bahwa metode khutbah adalah cara atau jalan yang dipakai oleh seorang khatib untuk menyampaikan materi khutbahnya. Sekurang-kurangnya metode penyampaian seorang khatib dalam khutbahnya mempergunakan dua metode, yaitu hikmah dan ceramah.

1. Metode Hikmah
            Al-Raghib al-Asfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an menyebutkan bahwa hikmah adalah mencapai kebenaran dengan ilmu dan akal.[40] Dalam kaitannya dengan dakwah, Al-Maraghi mempertegas bahwa hikmah adalah perkataan yang pasti disertai dalil-dalil untuk menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan.[41] Sebagai metode dalam khutbah, hikmah adalah penyampaian ajaran Islam untuk menyampaikan masyarakat pada pemahaman yang benar dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan daya pikir masyarakat penerima khutbah.
            Metode hikmah ini memiliki  jangkauan yang sangat luas, dan dapat dikenali dengan berbagai macam bentuk, antara lain:
a. Hikmah dalam memilih dan menyusun kata-kata yang tepat
b. Hikmah dalam membangkitkan semangat pendengar
c. Hikmah dalam menggiring pendengar untuk memelihara dan meningkatkan keimanan
d. Hikmah dalam arti mengenali kapasitas intelektual pendengar
e. Hikmah dalam memberikan pemahaman yang tepat dan benar serta mampu melenyapkan keraguan pendengar
f.  Hikmah dalam menggiring kesadaran pendengar untuk ikhlas menjalankan ajaran Islam, tanpa merasa terpaksa atau keberatan
g. Hikmah dalam menanamkan pembiasaan pada masyarakat pendengar agar mengamalkan ibadah sebagai kebutuhan utama
h. Hikmah dalam uswatun hasanah (teladan yang baik).

2. Metode Ceramah
            Metode ini cukup potensial dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan daya pikir dan usaha-usaha yang menyangkut perubahan sikap dan tingkah laku manusia. Melalui metode ceramah, seorang khatib akan berhasil dengan baik dalam menyampaikan khutbahnya, apabila menguasai beberapa syarat:
a. Khatib harus mempelajari sifat audien (jama’ah, pendengar). Dalam hal ini khatib harus mengetahui dan menyadari siapa pendengarnya (audience approach).
b. Menyesuaikan materi khutbah dengan minat dan tingkat pemahaman pendengar.
c. Khatib harus mengorganisasikan bahan ceramahnya dengan baik dan menyajikannya dengan kalimat yang efektif. Dengan kata lain, khutbah yang disampaikan harus dengan bahasan yang mudah dimengerti oleh pendengar.
d.Menguasai materi yang akan disampaikan dengan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan sehari-hari.
e. Menyesuaikan bahan dengan taraf kejiwaan, juga lingkungan sosial dan budaya pendengar.
f.  Suara dan bahasa diatur dengan sebaik-baiknya, meliputi ucapan, tempo, melodi ritme, dan dinamika.
g. Mampu tampil dengan sikap dan cara berdiri yang simpatik.
h. Isi khutbah yang disampaikan harus dapat menambah pengetahuan pendengar (informatife).
i.  Menggunakan waktu yang tersedia sebaik-baiknya (disiplin waktu).
j. Memberikan motivasi mengapa uraian yang disampaikan perlu diketahui oleh para pendengar (logical reasoning), sehingga menimbulkan kesadaran bahwa uraian itu menyangkut kepentingan para pendengarnya (common interest).
h.  Menggugah kemampuan para pendengar untuk berpartisipasi dalam perwujudan atau pengamalan atas materi khutbah yang disampaikan.

H. LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DILAKUKAN SEORANG KHATIB UNTUK PEMANTAPAN KHUTBAH
            Khatib yang baik harus melakukan 4 (empat) langkah untuk mencapai kemantapan dan kesuksesan dalam berkhutbah, yaitu tahap persiapan, penyampaian, penutupan, penilaian (evaluasi). Keempat tahapan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
1. Memperhatikan dan memperhitungkan hal-hal yang akan dihadapi
2. Mempertimbangkan sasaran target yang akan dicapai
3. Mengumpulkan bahan
4. Memilih dan menyempitkan topic
5. Mempertimbangkan materi yang hendak disajikan
6. Membuat kerangka uraian
7. Menentukan teknik penyampaian
8. Memperhatikan di mana khutbah akan dilakukan
9. Melatih diri dengan sungguh-sungguh.
2. Tahap Penyampaian
1. Membuka khutbah dengan kalimat salam
2. Memulai muqaddimah dengan hamdalah
3. Membaca shalawat
4. Membaca dua kalimat syahadat
5. Berwasiat takwa
6. Membaca ayat Al-Qur’an
7. Mengemukakan topik khutbah
8. Mendeskripsikan latar belakang masalah
9. Menghubungkan peristiwa yang sedang hangat
10. Menghubungkan dengan peristiwa yang sedang diperingati
11. Menghubungkan dengan tempat atau lokasi khutbah
12. Menghubungkan dengan suasana emosi yang menguasai khalayak
13. Menghubungkan dengan sejarah masa lalu
14. Memperkuat dengan pernyataan yang mengejutkan
15.  Menyatakan kutipan, baik dari Al-Qur’an, hadis, kitab-kitab terkemuka atau sumber bacaan lainnya
16. Menceritakan pengalaman pribadi
17. Mengisahkan cerita faktual ataupun fiktif[42]
18. Menyatakan teori tertentu
19. Materi yang disampaikan bersifat inovatif dan edukatif[43]
20. Penyajian materi dapat dikembangkan secara induktif atau deduktif.[44]
3. Tahap Penutupan
1. Mengemukakan ikhtisar (intisari) khutbah
2. Menyatakan kembali gagasan dengan kalimat singkat dan bahasa yang berbeda
3. Memberikan dorongan untuk bertindak atau mengamalkan yang disampaikan
4.  Mengakhiri dengan klimaks.
4. Tahap Evaluasi
1.  Meminta pendapat atau penilaian dari perwakilan pendengar
2.  Menerima kritik, masukan ataupun saran dari pendengar untuk perbaikan atau peningkatan khutbah berikutnya.

I. PENUTUP                    
            Khutbah Jum’at memiliki peran penting dalam memperbaiki kehidupan keberagamaan kaum Muslimin. Selain berfungsi sebagai media ‘amar ma’ruf nahi munkar, khutbah juga merupakan media yang membangun hubungan kaum Muslimin untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan menyadarkan mereka dari hal-hal yang melalaikan akibat pengaruh hawa nafsu dan aktivitas duniawi.
            Dalam khutbah terkandung nilai-nilai pendidikan yang sangat tinggi. Khatib dan para  jama’ah sama-sama dituntut menerapkan kedisiplinan. Seorang khatib dalam berkhutbah harus mematuhi dan melaksanakan kode etik dan rambu-rambu dakwah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. Khatib harus cermat dan berhati-hati dalam menyampaikan taushiahnya yang dilengkapi dengan rukun dan syarat-syaratnya. Sebaliknya jama’ah, diwajibkan mendengar dan mentadabburi materi khutbah dengan  khusyu’ dan tertib, tanpa boleh berkata-kata dan bersendagurau sedikit pun, karena hal demikian dapat membatalkan ibadah, baik pada Shalat Jum’at, ‘Idul Fitri, maupun ‘Idul Adha.
            Fenomena yang muncul belakangan ini sering memperlihatkan berbagai kekeliruan dalam tampilan khutbah. Dalam banyak hal, khatib-khatib yang tampil di mimbar Jum’at bukanlah juru dakwah yang benar-benar dipersiapkan dengan seperangkat ilmu dan keterampilan dalam berkhutbah. Mereka tampil secara otodidak dengan modal pandai berbicara dan mempergunakan beberapa ayat dan hadis, tanpa belajar dan berupaya mendalami model dan tuntunan berkhutbah yang telah disunnahkan oleh Rasulullah saw. Akhirnya kekeliruan ini sering terjadi dan terus berlanjut sebagai warisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
            Untuk menyikapi dan mengatasi hal yang demikian, diperlukan adanya bimbingan dan pelatihan yang terpadu dan serius di kalangan para juru dakwah dan calon da’i agar memperoleh pencerahan dan bangkit dengan tegar meninggalkan berbagai kekeliruan yang selama ini terdapat dalam aktivitas khutbah. Semoga para juru dakwah yang telah dibekali dengan berbagai ilmu dan keterampilan dalam khutbah, dapat menjadi “khatib-khatib teladan” yang dapat membimbing dan merangkul kaum Muslimin menjadi “khaira ummat”, yakni sebaik-baik ummat yang memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Fastabiqul Khairat, Wallahul Musta’an.                                  
                                                                                    Medan,  01 Januari 2014
                                                                                    Penulis,
                                                                                    Mohammad Al Farabi, M.Ag


DAFTAR  PUSTAKA

al-Asfahani, al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Asy’ats, Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, Juz 2, Tunisia: Dar al-Dakwah wa Dar Sahnun, 1990.

Atceh, Abu Bakar, Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam, Semarang: Ramadhani, 1971.

Ali Aziz, Mohammad, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2004.

al-Ghazali, Al-Imam Abi Hamid, Ihya’ Ulum al-Din, Juz 1, tahqiq Sayyid ‘Imran,
Kairo: Dar al-Hadis, 2004.

Ja’fi, Muhammad ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 3, Tahqiq Musthafa Dieb al-Bukha, Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah,1987.

Mahfuz, Ali, Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zi wa al-Khitabah, Beirut: Dar              al-Ma’arif, t.t.

al-Maraghi, Ahmad  Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, Juz 8, Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ah Musthafa  al-Babi al-Halaby wa Auladuh, 1972.

al-Mishri, Jamal al-Din Muhammad ibn Makram ibn al-Manzhur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Jilid 1, Beirut: Mu’assasah al-a’mali li al-Mathbu’at, 2005.

Munsyi, Abdul Kadir, Metode Diskusi dalam Dakwah, Surabaya: Al-Ikhlas, 1992.

Naisaburi, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala                   al-Shahihain, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.

Naisaburi, Abu  al-Husin Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi,  Shahih Muslim, Juz 4, Cet. I, Kairo: Dar al-Hadis, 1991.

Nasa’i, Abu ‘Abd ar-Rahman Ahmad ibn Syu’aib, As-Sunan al-Kubra, Juz 8, Beirut: Dar         al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991.

Nasional, Kementerian Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

al-Nawawi, Imam, Raudhah al-Thalibin, Jilid 2, Beirut: Dar al-Hadis, 2005.

al-Shan’ani, Muhammad Isma’il, Subul al-Salam, Juz 3, Beirut: Dar al-Hadis, 2006.

Sulami, Muhammad ibn Isa Abu ‘Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz 4, Tahqiq Ahmad Muhammad Syaqir, Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabiy,  tt.

Su’ud ibn Malluh ibn Sulthan al-‘Unazi, Al-Inba’ bi Akhta’ al-Khuthaba’, terj. M. Iqbal Kadir, Tigapuluhtiga Kesalahan Khatib Jum’at, Jakarta: Pustaka Al-Tazkia, 2007.

al-Syafi’i, Muhammad ibn Idris, Al-Umm, Juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.

Syaibani, Ahmad ibn Hanbal Abu ‘Abdullah, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz 2, Mesir: Mu’assasah Qurthabah, tt.

al-Thabrani, Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub Abu al-Qasim, Al-Mu’jam al-Kabir, Juz 3, Tahqiq Hamdi ibn ‘Abd al-Majid as-Salafy, Mosul: Maktabah al-Zahra, 1983.








[1]Hikmah adalah perkataan tegas yang disertai dengan dalil-dalil yang memperjelas kebenaran dan menghilangkan keraguan. Lihat Ahmad  Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ah Musthafa  al-Babi al-Halaby wa Auladuh, 1972), Juz 8, h. 34.
[2]Mohammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), h. 12.
[3]Jamal al-Din Muhammad ibn Makram ibn al-Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab (Beirut: Mu’assasah al-A’mali li al-Mathbu’at, 2005), Jilid 1, h. 1113-1114.
[4]Kementerian Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,    2007), h. 564.
[5]Abu Bakar Atceh, Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam (Semarang: Ramadhani, 1991), h. 6.
[6]Ali Mahfuz, Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zi wa al-Khitabah (Beirut: Dar                       al-Ma’arif, t.t.), h. 17. 
[7]QS. Al-Maidah: 67 dan QS. Ali Imran: 20.
[8]QS. Al-A’raf: 62 dan 68.
[9]QS. Yasin: 50.
[10]QS. Al-Isra’: 10.
[11]QS. Al-Baqarah: 119.
[12]Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats, Sunan Abi Dawud (Tunisia: Dar al-Dakwah wa Dar Sahnun, 1990),  h. Juz 2, h. 677, hadis no. 4840.
[13]Ibid., Juz 2, h. 677, hadis no. 4841.
[14]Abi al-Husin Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim (Kairo: Dar al-Hadis, 1991), Juz 5, h. 390, hadis no. 2032.
[15]Muhammad ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, Shahih al-Bukhari, Tahqiq Musthafa Dieb  al-Bukha (Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987), Juz 4, h. 51, hadis no. 928.
[16]Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 4, h. 63, hadis no. 934.
[17]Muhammad ibn Yazid Abu Abdillah al-Qazwaini/ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Fikri, tt.), Juz 3, h. 478, hadis no. 1163.
[18]Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’aib al-Nasa’i, Al-Sunan al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub           al-‘Ilmiyyah), Juz 3, h. 112, hadis no. 1393.
[19]Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz 6, h. 86, hadis no. 1967.
[20]Muslim, Shahih Muslim, Juz 1, h. 7, hadis no. 1.
[21]Ahmad ibn Hanbal Abu Abdullah Al-Syaibani, Musnad Ahmad ibn Hanbal (Mesir: Mu’assasah Qurthabah, tt.), Juz 5, h. 297, hadis no. 22905.
[22]Muslim, Shahih Muslim, Juz 5, h. 407, hadis no. 2046.
[23]Al-Imam Abi Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), tahqiq Sayyid ‘Imran, Juz 1, h. 238.
[24]Muslim, Shahih Muslim, Juz 5, h. 403, hadis no. 2042.
[25]Imam al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Hadis, 2005), Jilid 2, h. 32.
[26]Su’ud ibn Malluh ibn Sulthan al-‘Unazi, Al-Inba’ bi Akhta’ al-Khuthaba’, terj. M. Iqbal Kadir, Tigapuluhtiga Kesalahan Khatib Jum’at (Jakarta: Pustaka Al-Tazkia, 2007), h. 66-67.
[27]Muslim, Shahih Muslim, Juz 5, h. 427, hadis no. 2063.
[28]Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz 4, h. 15, hadis no. 1125.
[29]Muslim, Shahih Muslim, Juz 5, h. 429, hadis no. 2065.
[30]Muslim, Shahih Muslim, Juz 3, h. 13, hadis no. 2052.
[31]Muhammad Isma’il al-Shan’ani, Subul al-Salam (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), Juz 3, h. 170.
[32]‘Unazi, Al-Inba’, h. 84.
[33]Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 3, h. 211, hadis no. 717.
[34]Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Al-Umm (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz 1, h. 230.
[35]Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub Abu al-Qasim al-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir, Tahqiq Hamdi ibn ‘Abd al-Majid al-Salafy (Mosul: Maktabah al-Zahra, 1983), Juz 3, h. 327.
[36]‘Unazi, Al-Inba’, h. 147.
[37]Muslim, Shahih Muslim, Juz 5, h. 414, hadis no. 2053.
[38]‘Unazi, Al-Inba’, h. 156.
[39]Abdul Kadir Munsyi, Metode Diskusi dalam Dakwah (Surabaya: Al-Ikhlas, 1992), h. 29.
[40]Al-Raghib Al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), h. 126.
[41]Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, h. 34.
[42]Faktual, maksudnya sesuai dengan kejadian sebenarnya, sedangkan fiktif maksudnya kisah yang berasal dari karangan manusia yang tidak berdasarkan kejadian yang sebenarnya, tetapi bisa dijadikan pelajaran (‘ibrah).
[43]Inovatif, maksudnya mengandung unsur pembaharuan atau pengembangan gagasan baru, sedangkan edukatif maksudnya mengandung nilai-nilai pendidikan terhadap umat.
[44]Induktif, maksudnya menyampaikan materi khutbah yang bertolak dari masalah khusus lalu dikembangkan secara umum, sedangkan deduktif maksudnya menyampaikan materi khutbah bertolak dari keumuman muatan teks Al-Qur’an atau hadis, kemudian mengecilkan pembahasannya kepada persoalan khusus yang aktual dihadapi umat.