Kesaksian Bisu
Karya: Nanda Eka
Putri
(
Kader KKD MAN 2 Model Medan)
Bu Sayuti dikenal sebagai sosok guru yang tangguh dan berdedikasi. Ketulusan,
kegigihan, dan keteladanan dalam mendidik siswanya, membuat beliau tidak pernah
mengenal lelah. Itulah pandangan masyarakat di sekitar Yayasan Perguruan Budi Mulia
terhadap sosok guru itu.
“Assalamu’alaikum”,
ucap Bu Sayuti sambil membuka pintu
kelas yang dihuni siswa kelas XII.
“Wa’alaikumussalam”,
jawab semua siswa.
“Hemmm…, pasti ibu
ini ceramah lagi tentang kedisiplinan”,
ucap Rika kepada teman sebangkunya.
“Ananda
sekalian…., tugas yang ibu suruh kemarin apa sudah dikerjakan….?’’ Tanya Bu Sayuti
sambil memandangi setiap siswanya, sehingga berputarlah lehernya ke kiri dan ke
kanan.
Suasana berubah menjadi hening tanpa
kata, senyap tak bernada, dan hampa tak bergetar, seakan-akan mereka tidak
menggubris pertanyaan beliau.
Diulangnya
kembali pertanyaan itu, ”Ananda sekalian, apakah kalian telah menyelesaikan
tugas puisi yang ibu suruh minggu lalu?”.
Tiba-tiba muncul suara, ”Tugas-tugas aja pun, capek tau…!”
ternyata ucapan itu dilontarkan oleh Andi.
Mendengar
ucapan Andi, Bu Sayuti terenyuh hatinya. Ternyata semua ketulusan dan
perjuangannya memberikan ilmu kepada siswanya selama ini, telah diabaikan.
Dalam pemikiran Bu Sayuti, amanat yang disampaikannya itu belum masuk ke benak
mereka. Bu sayuti juga menyadari, ilmu hanya bisa didapat bagi orang yang mau
bersungguh-sungguh dan berhati bersih.
Detik demi detik pun berlalu, namun
tiada seorang pun yang mengumpulkan tugas puisi bertema tentang “Guru”. Sejenak
Bu Sayuti menghela napas. Ia berlapang dada. Siswa tampak heran kenapa guru itu
tidak memberi sanksi atau memarahi mereka. Malah Bu Sayuti justru melanjutkan
pelajaran Bahasa Indonesia di kelas itu. Bel pun berbunyi, dua les pelajaran
telah terlewati.
Dari kebanyakan siswa, Nita menaruh
kagum atas kesabaran dan kelembutan hati Bu Sayuti. Ia mulai merangkai puisi dan
bertekad menunjukkan karya terbaiknya untuk guru teladannya itu.
***
Tiga hari berikutnya, Bu Sayuti
kembali masuk mengajar bahasa Indonesia, dan tak lupa pula ia bertanya lagi
mengenai tugas puisi itu. Namun mereka ada yang tidur, kacaan serta menundukkan
kepala sambil memainkan handphonenya, seakan-akan merasa tidak bersalah.
Tiba-tiba ada seorang siswa
menghampiri Bu Sayuti dengan membawa secarik kertas dan mengulurkannya ke arah
guru yang santun itu.
”Ini bu, hasil
karya saya”, ungkap Nita.
“Terimakasih ya
nak, sudah mau mengerjakan tugas”, jawab Bu Sayuti.
Nita terharu sekali
karena Bu Sayuti masih berkenan menerima tugasnya dan memberi ucapan terima
kasih kepadanya.
“Baiklah nak,
kamu berdiri di sini menghadap teman-temanmu, lalu bacakan puisimu. Kamu pasti
bisa”, ucap Bu Sayuti.
Mendengar
ucapan itu Nita merasa percaya diri dan langsung membaca puisi di hadapan
teman-teman sekelasnya.
Aku Rindu Padamu
Kekesalan, kemarahan,
dan kesakithatian
Pasti engkau
telah merasakannya
Cinta, keikhlasan,
dan tulus hatimu
Telah menyembunyikan
semua emosional itu
Kebaikanmu, kerap
tak berharga bagi mereka
Keikhlasanmu, kerap
tak terlihat oleh mereka
Ketulusanmu,
tak dapat mereka rasakan
Tapi, karena niat tulusmu, semua dapat mereka
capai
Engkaulah
penerang ku
Engkau bagaikan komputer tanpa baterai
Namun engkau bimbing aku, hingga aku
mahir
Engkaulah guruku yang digugu dan ditiru
Tanpa balas jasa dan kenal waktu
Pelan-pelan air mata Bu sayuti jatuh
berderai mendengar bacaan puisi itu. Selama ini beliau dikenal sebagai sosok
yang tegar, namun sentuhan bahasa puisi itu membuatnya tiada tahan membendung
aliran air mata. Suasana berubah menjadi haru, semua murid turut menangis. Andi
maju meminta maaf atas kesalahannya seraya mencium tangan Bu Sayuti. Melihat
sikap Andi, teman-teman lain pun ikut meminta maaf. Suasana haru itu pun
membuat bumi seakan-akan ikut merasakan kesyahduan kelas itu. Bersamaan dengan
itu, hujan pun akhirnya turun membasahi
bumi.
***
0 komentar:
Posting Komentar