Selasa, 24 Desember 2013

Kesaksian Bisu ( Nanda Eka Putri)


Kesaksian Bisu
Karya: Nanda Eka Putri
( Kader KKD MAN 2 Model Medan)

                Bu Sayuti dikenal sebagai sosok guru yang tangguh dan berdedikasi. Ketulusan, kegigihan, dan keteladanan dalam mendidik siswanya, membuat beliau tidak pernah mengenal lelah. Itulah pandangan masyarakat di sekitar Yayasan Perguruan Budi Mulia terhadap sosok guru itu.
“Assalamu’alaikum”, ucap Bu Sayuti  sambil membuka pintu kelas yang dihuni siswa kelas XII.
“Wa’alaikumussalam”, jawab semua siswa.
“Hemmm…, pasti ibu ini ceramah lagi  tentang kedisiplinan”, ucap Rika kepada teman sebangkunya.
“Ananda sekalian…., tugas yang ibu suruh kemarin apa sudah dikerjakan….?’’ Tanya Bu Sayuti sambil memandangi setiap siswanya, sehingga berputarlah lehernya ke kiri dan ke kanan.
            Suasana berubah menjadi hening tanpa kata, senyap tak bernada, dan hampa tak bergetar, seakan-akan mereka tidak menggubris pertanyaan beliau.
Diulangnya kembali pertanyaan itu, ”Ananda sekalian, apakah kalian telah menyelesaikan tugas puisi yang ibu suruh minggu lalu?”.
Tiba-tiba  muncul suara, ”Tugas-tugas aja pun, capek tau…!” ternyata ucapan itu dilontarkan oleh Andi.
Mendengar ucapan Andi, Bu Sayuti terenyuh hatinya. Ternyata semua ketulusan dan perjuangannya memberikan ilmu kepada siswanya selama ini, telah diabaikan. Dalam pemikiran Bu Sayuti, amanat yang disampaikannya itu belum masuk ke benak mereka. Bu sayuti juga menyadari, ilmu hanya bisa didapat bagi orang yang mau bersungguh-sungguh dan berhati bersih.
            Detik demi detik pun berlalu, namun tiada seorang pun yang mengumpulkan tugas puisi bertema tentang “Guru”. Sejenak Bu Sayuti menghela napas. Ia berlapang dada. Siswa tampak heran kenapa guru itu tidak memberi sanksi atau memarahi mereka. Malah Bu Sayuti justru melanjutkan pelajaran Bahasa Indonesia di kelas itu. Bel pun berbunyi, dua les pelajaran telah terlewati.
            Dari kebanyakan siswa, Nita menaruh kagum atas kesabaran dan kelembutan hati Bu Sayuti. Ia mulai merangkai puisi dan bertekad menunjukkan karya terbaiknya untuk guru teladannya itu.
***
            Tiga hari berikutnya, Bu Sayuti kembali masuk mengajar bahasa Indonesia, dan tak lupa pula ia bertanya lagi mengenai tugas puisi itu. Namun mereka ada yang tidur, kacaan serta menundukkan kepala sambil memainkan handphonenya, seakan-akan merasa tidak bersalah.
            Tiba-tiba ada seorang siswa menghampiri Bu Sayuti dengan membawa secarik kertas dan mengulurkannya ke arah guru yang santun itu.
”Ini bu, hasil karya saya”, ungkap Nita.
“Terimakasih ya nak, sudah mau mengerjakan tugas”, jawab Bu Sayuti.
Nita terharu sekali karena Bu Sayuti masih berkenan menerima tugasnya dan memberi ucapan terima kasih kepadanya.
“Baiklah nak, kamu berdiri di sini menghadap teman-temanmu, lalu bacakan puisimu. Kamu pasti bisa”, ucap Bu Sayuti.
Mendengar ucapan itu Nita merasa percaya diri dan langsung membaca puisi di hadapan teman-teman sekelasnya.
Aku Rindu Padamu
Kekesalan, kemarahan, dan kesakithatian
Pasti engkau telah merasakannya
Cinta, keikhlasan, dan tulus hatimu
Telah menyembunyikan semua emosional itu
Kebaikanmu, kerap tak berharga bagi mereka
Keikhlasanmu, kerap tak terlihat oleh mereka
                                                Ketulusanmu, tak dapat mereka rasakan
                                      Tapi, karena niat tulusmu, semua dapat mereka capai
                                                            Engkaulah penerang ku
                                                 Engkau bagaikan komputer tanpa baterai
                                            Namun engkau bimbing aku, hingga aku mahir
                                                      Engkaulah guruku yang digugu dan ditiru
                                                       Tanpa balas jasa dan kenal waktu
            Pelan-pelan air mata Bu sayuti jatuh berderai mendengar bacaan puisi itu. Selama ini beliau dikenal sebagai sosok yang tegar, namun sentuhan bahasa puisi itu membuatnya tiada tahan membendung aliran air mata. Suasana berubah menjadi haru, semua murid turut menangis. Andi maju meminta maaf atas kesalahannya seraya mencium tangan Bu Sayuti. Melihat sikap Andi, teman-teman lain pun ikut meminta maaf. Suasana haru itu pun membuat bumi seakan-akan ikut merasakan kesyahduan kelas itu. Bersamaan dengan itu,  hujan pun akhirnya turun membasahi bumi.       
***



0 komentar:

Posting Komentar