Pahlawan
Hidupku
Oleh: Atiqatunnisa’ Asri
( Kader KKD MAN 2 Model Medan )
Aku selalu jadi bahan ejekan di
sekolahku. Anak-anak di sekolahku mempunyai alasan yang cukup untuk mengejekku
setiap hari. Aku memang banyak kekurangan. Aku jelek, dan juga miskin. Dan aku
mengakui itu, aku jelek karena aku miskin. Aku miskin karena keadaan keluargaku
memang memprihatinkan. Ayahku telah
tiada sejak aku kecil, dan ibuku hanyalah orang dahulu yang sekolahnya pun
tidak selesai dan memiliki kekurangan, yaitu bisu, sehingga ia cuma bisa jadi
buruh cuci. Tapi, di antara semua kelemahanku aku punya keunggulan yang sangat
ku syukuri. Aku diakui oleh banyak guruku sebagai siswa yang pintar di sekolah.
Walaupun ibuku tidak menyelesaikan sekolahnya, namun harapan dan semangatnya
sangat besar agar aku sukses nantinya. Bagiku, ibulah idola pertamaku di dunia
ini.
***
Aku bergegas untuk berangkat
ke sekolah. Aku takut terlambat, karena jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh
ditambah lagi aku berjalan kaki. Aku berpamitan pada ibu, dan seperti biasa ibu
selalu menyampaikan pesan padaku, isi pesannya selalu sama setiap harinya.
“Jangan kecewakan ibu ya, Zahra”,
ucap ibu dengan bahasa isyarat.
Aku mengangguk, dan
tersenyum pada ibu untuk membesarkan hatinya.
Aku pun pergi ke sekolah,
dan seperti biasanya, teman-temanku sudah menyambut dengan berbagai macam
cacian mereka.
“Lihat, siapa yang datang…si
kuper…”, ucap salah satu dari mereka.
“Eh..pergi yuk, nanti
kupernya menular.” ucap mereka lagi.
Aku hanya menunduk, dan
menahan air mataku, agar tidak jatuh.
Tiba-tiba, seseorang dengan
suaranya yang khas menyapaku.
“Pagi Zahra…!”
Aku mengangkat kepalaku.
Benar perkiraanku, dia adalah guru Bahasa Indonesiaku namanya Pak Rahmat, dia
yang membuat aku bertahan di sekolah ini.
“Kenapa Zahra tidak lawan
mereka?” tanya beliau.
“Apa gunanya pak, toh, nanti
saya tetap kalah” jawabku.
“Hehe..iya ya, kalau melawan
orang seperti itu harus pakai kecerdasan, Zahra” ucap beliau.
“Iya pak”, jawabku.
“Saya ke kelas dulu pak”,
ucapku.
“O… iya, silahkan”, jawabnya.
Pak Rahmat orangnya tegas, disiplin,
dan selalu memberikanku arahan dan motivasi setiap aku diganggu oleh
teman-temanku. Ia juga sangat rendah hati. Dia berangkat ke sekolah dengan
sepeda ontel zaman dulu. Tapi kesederhanaannya membuatnya berwibawa. Sikapnya
yang tenang, dan tidak banyak bicara mengingatkanku pada sang ayah yang telah
tiada saat aku berumur 6 tahun. Walaupun belum lama mengenal ayahku, tapi aku
tahu sifatnya, dan pak Rahmat seperti jelmaan beliau, seolah-olah untuk
menjagaku di sini. Dia adalah idolaku yang kedua.
***
Temanku semakin
menjadi-jadi, hari ini mereka menggangguku tidak hanya dengan
perkataan-perkataan yang menyakitkan, tapi mereka sudah berani menarik jilbabku
dan ingin memukulku. Untung saja Pak Rahmat, dewa fortunaku datang. Pak Rahmat
membawaku ke kantor, sedangkan temanku ke ruang BK.
“Kamu tidak apa-apa kan, nak”,
tanya Pak Rahmat.
“Tidak pak”, jawabku.
“Kalau sudah selesai sekolah
nanti, Zahra mau jadi apa nak”, tanya beliau lagi.
“Saya malu mengatakannya,
pak. Sepertinya, itu cuma akan jadi khayalan saya saja” jawabku.
“Tidak boleh bilang begitu,
bermimpi dan bercita-cita, memang dianjurkan Zahra”, ucap Pak Rahmat.
“Zahra mau jadi dokter pak”,
ucapku.
“Wah..bagus sekali, pasti
kamu bisa nak, tetaplah belajar yang gigih” jawabnya.
“Sebenarnya dulu bapak juga
ingin jadi dokter, tapi orangtua bapak juga bukan orang yang mampu, sehingga
akhirnya jadi guru seperti ini. Bapak sempat marah dengan keadaan keluarga
bapak yang menjadi penghambat keinginan bapak. Tapi akhirnya,bapak rasakan
hikmah dari semuanya. Ternyata apa yang kita inginkan belum tentu baik buat
kita, malah yang diberikan Allah itu yang terbaik. Sekarang bapak bahagia jadi
guru. Walaupun terkesan biasa, itu tidak masalah, yang penting bapak bisa
lahirkan generasi yang hebat-hebat nantinya”, ucap Pak Rahmat panjang lebar.
“Benar pak, pekerjaan yang
paling mulia memang seorang guru”, jawabku.
“Jadi, Zahra janganlah
pernah berputus asa, walaupun tidak punya teman, dan meski mereka selalu
mengganggu Zahra, tetaplah kuat dan jangan pernah rendah diri. Jangan pula
menyimpan dendam pada mereka. Zahra harus tetap bisa menegakkan kepala Zahra,
karena Zahra memiliki otak yang cerdas, mudah-mudahan Zahra jadi salah satu
generasi hebat yang bapak lahirkan”, ucap Pak Rahmat lagi.
“Iya pak”, jawabku.
“Jangan kecewakan bapak ya,
nak”, ucapnya sambil menepuk-nepuk pundakku.
Aku tersentak dengan pesan
yang diucapkannya, sama dengan pesan yang disampaikan ibuku setiap hari.
***
Hidupku terasa semakin pahit,
dengan musibah yang menimpaku hari ini. Idola pertamaku, telah pergi
meninggalkanku lebih dulu. Ibu, satu-satunya temanku di rumah, kini telah
kembali menuju panggilan Sang Khalik-Nya. Para guru datang ke rumah, namun aku
tak melihat sosok Pak Rahmat yang biasanya selalu menasehatiku. Aku
mencari-cari sosoknya di antara para guru yang telah hadir di rumahku. Namun
aku tak juga melihatnya. Saat aku sedang mencari-cari, wali kelasku
menghampiriku.
“Sabar, ya nak, hari ini dua
orang yang kamu sayangi telah tiada” ucap nya sambil meneteskan air mata.
Aku bingung mendengar ucapan
wali kelasku. Saat aku masih bingung, wali kelasku kembali bersuara.
“Zahra, Pak Rahmat meninggal
nak,” ucapnya.
Aku sangat shock
mendengarnya, air mataku bertambah deras. Allah telah mengambil dua orang yang
kusayang. Aku kembali mengingat percakapan terakhirku dengan Pak Rahmat
kemarin, ternyata nasehatnya yang panjang lebar itu sebagai pertemuan terakhir
kami. Pesan terakhir yang ia sampaikan sama dengan pesan terakhir yang
disampaikan ibuku. Ternyata mereka pergi bersama hari ini.
***
Aku sudah kembali ke
sekolah. Suasananya sangat berbeda. Teman-temanku tidak lagi menggangguku. Wajah
cerah Pak Rahmat juga telah tiada. Namun aku tetap harus semangat agar aku tak
mengecewakan dua orang idolaku, Ibu dan Pak Rahmat.
Tiba-tiba wali kelasku
masuk, dan memanggilku. Dia mengajakku berbicara di kantor. Melihat dari
gelagatnya, sepertinya dia ingin mengatakan hal yang sangat penting. Sesampainya
di kantor, kami berdua duduk dan memulai pembicaraan.
“Nak, ibu ingin memberikan
beasiswa jurusan kedokteran padamu. Karena Pak Rahmat pernah cerita, kamu ingin
jadi dokter, kamu mau kan?” tanya beliau.
“Maaf bu, tapi saya tidak
bisa menerima beasiswa itu”, jawabku.
Wali kelasku sangat terkejut
dengan jawabanku,
“Lho? Kenapa nak?”, tanyanya
lagi.
“Dulu saya memang pernah
ingin jadi dokter bu, tapi sekarang tidak lagi. Sekarang saya ingin menjadi
seorang guru bu. Saya ingin meneruskan jejak Pak Rahmat. Saat ini, sangat sulit
mencari orang seperti beliau. Biarlah saya menjadi orang yang sederhana, tapi
saya dapat menghasilkan orang-orang yang hebat nantinya. Saya sudah tekadkan
hati saya…”, jawabku.
Wali kelasku menangis
mendengar jawabanku. Dia mengangguk, terlihat membenarkan pernyataan sikapku.
“Baiklah, ibu hargai
keputusanmu nak, kamu memang mirip seperti beliau. Lanjutkanlah jejaknya.” ucap
wali kelasku.
***
Aku berjalan menuju kelas. Aku
berkata di dalam hati. Aku teringat dengan dua orang pahlawan hidupku. Ibuku
dan Pak Rahmat.
“Ibu dan Pak Rahmat, tenang
saja, aku tidak akan mengecewakan kalian”, ucapku dalam hati.
Aku akan berusaha, membuat
kedua idolaku itu bangga, walaupun mereka telah tiada. Aku akan mendo’akan
mereka agar selalu bahagia di sana. Aku tidak akan mengecewakan mereka yang
telah menjadi pahlawan hidupku.
0 komentar:
Posting Komentar