Selasa, 24 Desember 2013

Pahlawan Hidupku (Atiqotunnisa Asri)


Pahlawan Hidupku
Oleh: Atiqatunnisa’ Asri
( Kader KKD MAN 2 Model Medan )
            Aku selalu jadi bahan ejekan di sekolahku. Anak-anak di sekolahku mempunyai alasan yang cukup untuk mengejekku setiap hari. Aku memang banyak kekurangan. Aku jelek, dan juga miskin. Dan aku mengakui itu, aku jelek karena aku miskin. Aku miskin karena keadaan keluargaku memang memprihatinkan. Ayahku  telah tiada sejak aku kecil, dan ibuku hanyalah orang dahulu yang sekolahnya pun tidak selesai dan memiliki kekurangan, yaitu bisu, sehingga ia cuma bisa jadi buruh cuci. Tapi, di antara semua kelemahanku aku punya keunggulan yang sangat ku syukuri. Aku diakui oleh banyak guruku sebagai siswa yang pintar di sekolah. Walaupun ibuku tidak menyelesaikan sekolahnya, namun harapan dan semangatnya sangat besar agar aku sukses nantinya. Bagiku, ibulah idola pertamaku di dunia ini.
                                                                        ***
Aku bergegas untuk berangkat ke sekolah. Aku takut terlambat, karena jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh ditambah lagi aku berjalan kaki. Aku berpamitan pada ibu, dan seperti biasa ibu selalu menyampaikan pesan padaku, isi pesannya selalu sama setiap harinya.
“Jangan kecewakan ibu ya, Zahra”, ucap ibu dengan bahasa isyarat.
Aku mengangguk, dan tersenyum pada ibu untuk membesarkan hatinya.
Aku pun pergi ke sekolah, dan seperti biasanya, teman-temanku sudah menyambut dengan berbagai macam cacian mereka.
“Lihat, siapa yang datang…si kuper…”, ucap salah satu dari mereka.
“Eh..pergi yuk, nanti kupernya menular.” ucap mereka lagi.
Aku hanya menunduk, dan menahan air mataku, agar tidak jatuh.
Tiba-tiba, seseorang dengan suaranya yang khas menyapaku.
“Pagi Zahra…!”
Aku mengangkat kepalaku. Benar perkiraanku, dia adalah guru Bahasa Indonesiaku namanya Pak Rahmat, dia yang membuat aku bertahan di sekolah ini. 
“Kenapa Zahra tidak lawan mereka?” tanya beliau.
“Apa gunanya pak, toh, nanti saya tetap kalah” jawabku.
“Hehe..iya ya, kalau melawan orang seperti itu harus pakai kecerdasan, Zahra” ucap beliau.
“Iya pak”, jawabku.
“Saya ke kelas dulu pak”, ucapku.
“O… iya, silahkan”, jawabnya.
Pak Rahmat orangnya tegas, disiplin, dan selalu memberikanku arahan dan motivasi setiap aku diganggu oleh teman-temanku. Ia juga sangat rendah hati. Dia berangkat ke sekolah dengan sepeda ontel zaman dulu. Tapi kesederhanaannya membuatnya berwibawa. Sikapnya yang tenang, dan tidak banyak bicara mengingatkanku pada sang ayah yang telah tiada saat aku berumur 6 tahun. Walaupun belum lama mengenal ayahku, tapi aku tahu sifatnya, dan pak Rahmat seperti jelmaan beliau, seolah-olah untuk menjagaku di sini. Dia adalah idolaku yang kedua.  
                                                                        ***
Temanku semakin menjadi-jadi, hari ini mereka menggangguku tidak hanya dengan perkataan-perkataan yang menyakitkan, tapi mereka sudah berani menarik jilbabku dan ingin memukulku. Untung saja Pak Rahmat, dewa fortunaku datang. Pak Rahmat membawaku ke kantor, sedangkan temanku ke ruang BK.
“Kamu tidak apa-apa kan, nak”, tanya Pak Rahmat.
“Tidak pak”, jawabku.
“Kalau sudah selesai sekolah nanti, Zahra mau jadi apa nak”, tanya beliau lagi.
“Saya malu mengatakannya, pak. Sepertinya, itu cuma akan jadi khayalan saya saja” jawabku.
“Tidak boleh bilang begitu, bermimpi dan bercita-cita, memang dianjurkan Zahra”, ucap Pak Rahmat.
“Zahra mau jadi dokter pak”, ucapku.
“Wah..bagus sekali, pasti kamu bisa nak, tetaplah belajar yang gigih” jawabnya.
“Sebenarnya dulu bapak juga ingin jadi dokter, tapi orangtua bapak juga bukan orang yang mampu, sehingga akhirnya jadi guru seperti ini. Bapak sempat marah dengan keadaan keluarga bapak yang menjadi penghambat keinginan bapak. Tapi akhirnya,bapak rasakan hikmah dari semuanya. Ternyata apa yang kita inginkan belum tentu baik buat kita, malah yang diberikan Allah itu yang terbaik. Sekarang bapak bahagia jadi guru. Walaupun terkesan biasa, itu tidak masalah, yang penting bapak bisa lahirkan generasi yang hebat-hebat nantinya”, ucap Pak Rahmat panjang lebar.
“Benar pak, pekerjaan yang paling mulia memang seorang guru”, jawabku.
“Jadi, Zahra janganlah pernah berputus asa, walaupun tidak punya teman, dan meski mereka selalu mengganggu Zahra, tetaplah kuat dan jangan pernah rendah diri. Jangan pula menyimpan dendam pada mereka. Zahra harus tetap bisa menegakkan kepala Zahra, karena Zahra memiliki otak yang cerdas, mudah-mudahan Zahra jadi salah satu generasi hebat yang bapak lahirkan”, ucap Pak Rahmat lagi.
“Iya pak”, jawabku.
“Jangan kecewakan bapak ya, nak”, ucapnya sambil menepuk-nepuk pundakku.
Aku tersentak dengan pesan yang diucapkannya, sama dengan pesan yang disampaikan ibuku setiap hari.
                                                                        ***
Hidupku terasa semakin pahit, dengan musibah yang menimpaku hari ini. Idola pertamaku, telah pergi meninggalkanku lebih dulu. Ibu, satu-satunya temanku di rumah, kini telah kembali menuju panggilan Sang Khalik-Nya. Para guru datang ke rumah, namun aku tak melihat sosok Pak Rahmat yang biasanya selalu menasehatiku. Aku mencari-cari sosoknya di antara para guru yang telah hadir di rumahku. Namun aku tak juga melihatnya. Saat aku sedang mencari-cari, wali kelasku menghampiriku.
“Sabar, ya nak, hari ini dua orang yang kamu sayangi telah tiada” ucap nya sambil meneteskan air mata.
Aku bingung mendengar ucapan wali kelasku. Saat aku masih bingung, wali kelasku kembali bersuara.
“Zahra, Pak Rahmat meninggal nak,” ucapnya.
Aku sangat shock mendengarnya, air mataku bertambah deras. Allah telah mengambil dua orang yang kusayang. Aku kembali mengingat percakapan terakhirku dengan Pak Rahmat kemarin, ternyata nasehatnya yang panjang lebar itu sebagai pertemuan terakhir kami. Pesan terakhir yang ia sampaikan sama dengan pesan terakhir yang disampaikan ibuku. Ternyata mereka pergi bersama hari ini.
                                                                        ***
Aku sudah kembali ke sekolah. Suasananya sangat berbeda. Teman-temanku tidak lagi menggangguku. Wajah cerah Pak Rahmat juga telah tiada. Namun aku tetap harus semangat agar aku tak mengecewakan dua orang idolaku, Ibu dan Pak Rahmat.
Tiba-tiba wali kelasku masuk, dan memanggilku. Dia mengajakku berbicara di kantor. Melihat dari gelagatnya, sepertinya dia ingin mengatakan hal yang sangat penting. Sesampainya di kantor, kami berdua duduk dan memulai pembicaraan.
“Nak, ibu ingin memberikan beasiswa jurusan kedokteran padamu. Karena Pak Rahmat pernah cerita, kamu ingin jadi dokter, kamu mau kan?” tanya beliau.
“Maaf bu, tapi saya tidak bisa menerima beasiswa itu”,  jawabku.
Wali kelasku sangat terkejut dengan jawabanku,
“Lho? Kenapa nak?”, tanyanya lagi.
“Dulu saya memang pernah ingin jadi dokter bu, tapi sekarang tidak lagi. Sekarang saya ingin menjadi seorang guru bu. Saya ingin meneruskan jejak Pak Rahmat. Saat ini, sangat sulit mencari orang seperti beliau. Biarlah saya menjadi orang yang sederhana, tapi saya dapat menghasilkan orang-orang yang hebat nantinya. Saya sudah tekadkan hati saya…”, jawabku.
Wali kelasku menangis mendengar jawabanku. Dia mengangguk, terlihat membenarkan pernyataan sikapku.
“Baiklah, ibu hargai keputusanmu nak, kamu memang mirip seperti beliau. Lanjutkanlah jejaknya.” ucap wali kelasku.
                                                                        ***
Aku berjalan menuju kelas. Aku berkata di dalam hati. Aku teringat dengan dua orang pahlawan hidupku. Ibuku dan Pak Rahmat.
“Ibu dan Pak Rahmat, tenang saja, aku tidak akan mengecewakan kalian”, ucapku dalam hati.
Aku akan berusaha, membuat kedua idolaku itu bangga, walaupun mereka telah tiada. Aku akan mendo’akan mereka agar selalu bahagia di sana. Aku tidak akan mengecewakan mereka yang telah menjadi pahlawan hidupku.

0 komentar:

Posting Komentar