Oleh: Mohammad Al
Farabi, M.Ag
(Pembina Kursus Kader
Dakwah MAN 2 Model Medan)
A.
PENDAHULUAN
Khutbah merupakan bagian penting
dari aktivitas ibadah berjama’ah dan rukun yang tidak dapat dipisahkan,
terutama pada Shalat Fardhu Jum’at, ‘Idul Fitri, dan ‘Idul Adha. Khutbah
berbentuk pesan (taushiah) yang disampaikan oleh seorang khatib
(penyampai pesan) terhadap jamaah shalat yang berhaluan mengajak para pendengar
agar memperbaharui dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Keberadaan
khutbah dapat memotivasi orang untuk lebih bergairah mengikuti shalat berjamaah
dan menggiring jamaah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Khutbah yang disampaikan dengan hikmah,[1] bahasa
yang tegas dan lugas, bacaan ayat dan hadis yang fashih, tidak hanya membuat orang
terkesima mendengarkannya, tetapi juga dapat menjadi obat penyejuk rohani dan
ketenangan hati bagi para jama’ah, sehingga akan mendorong bangkitnya spirit ketakwaan
yang lebih maksimal. Terlebih lagi, dorongan itu akan semakin kuat lengket dan
membekas di hati jamaah apabila khatib yang menyampaikannya adalah pemuka agama
yang berilmu, shaleh dan kharismatik, sehingga untaian mutiara hikmah yang
disampaikan selaras dengan kepribadian dan perbuatannya, dan dari aspek inilah
para jamaah dapat mengamalkan apa yang disampaikannya dan meneladani akhlak
serta sikap hidupnya.
Fenomena yang muncul dalam dunia
khutbah saat ini bukan terletak pada sulitnya mencari khatib yang pandai
berbicara, shaleh dan kharismatik, tetapi sulitnya menemukan khatib-khatib teladan
yang menguasai seluruh aspek ilmu yang berkaitan dengan khutbah dan pengamalan kaifiyat
(tata khutbah) yang benar dan relevan dengan Sunnah yang diajarkan Rasulullah
saw. Berdasarkan pertimbangan inilah, dipandang perlu mempersiapkan generasi
muda untuk memiliki akumulasi keterampilan berkhutbah sekaligus membina
kepribadiannya melalui pelatihan atau kursus khatib, agar dapat menjadi “Khatib
Teladan” yang tidak hanya relevan dalam pengamalan Sunnah Rasul saw., tetapi
juga menjadi penyampai gagasan brillian yang dapat diproyeksikan untuk pembangunan
Sumber Daya Muslim berkualitas demi kejayaan serta kemuliaan Islam dan kaum
Muslimin di masa depan (‘izzul Islam wa al-Muslimin).
B. PENGERTIAN
KHUTBAH
Khutbah berasal dari akar
kata “Khataba” yang artinya mengucap atau berpidato.[2] Dalam
Kamus Lisan al-‘Arab, kata khutbah diartikan sebagai “nama dari
aktivitas pembicaraan yang disampaikan oleh seorang pembicara (al-khatib)”.[3] Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, khutbah adalah pidato terutama yang menguraikan ajaran
agama.[4] Orang
yang menyampaikan khutbah disebut dengan khatib. Khutbah sering dipahami
sebagai dakwah atau tabligh yang
diucapkan dengan lisan pada upacara-upacara agama seperti khutbah Jum’at,
khutbah dua hari raya, khutbah nikah, dan lain-lain yang memiliki corak syarat
dan rukun tertentu.[5]
Sebagai bagian dari dakwah, khutbah merupakan upaya untuk
memotivasi orang agar berbuat baik dan mengikuti jalan petunjuk (agama), serta
melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan
dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[6] Selain
term khutbah, dalam dunia dakwah Islam dikenal pula istilah tabligh,[7] nashihah,[8]
taushiah,[9] tabsyir,[10] dan tandzir.[11]
Istilah khutbah bukanlah
pidato biasa seperti yang sering ditampilkan pada kegiatan-kegiatan umum,
tetapi selain memiliki aturan dan ketentuan yang umumnya berlaku dalam pidato
biasa, juga harus dilandasi dengan seperangkat dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi saw. serta wawasan keilmuan dan
nilai-nilai keislaman yang dapat mengungkapkan gagasan dan pemikiran yang
bersifat informatif, inspiratif, persuasif, dan argumentatif.
C. RUKUN DUA
KHUTBAH JUM’AT
Khutbah Jum’at memiliki beberapa
rukun, yaitu sesuatu yang wajib ada/dipenuhi
secara mutlak, dan apabila salah satu dari unsur rukun tidak terpenuhi, maka
khutbah Jum’at beserta shalatnya tidak sah. Khutbah Jum’at memiliki 6
(enam) rukun, yaitu sebagai berikut:
1. Mengucapkan puji-pujian kepada Allah (lafal hamdalah).
Tidak sah khutbah jika khatib tidak
memulai khutbah dengan hamdalah, sesuai dengan penjelasan dari Nabi saw.:
حَدَّثَنَا
أَبُو تَوْبَةَ قَالَ زَعَمَ الْوَلِيدُ عَنِ الأَوْزَاعِىِّ عَنْ قُرَّةَ عَنِ
الزُّهْرِىِّ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «كُلُّ كَلاَمٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَهُوَ أَجْذَمُ»(اخرجه ابو داود).[12]
“Abu Taubah
telah menceritakan kepada kami dari Za’am al-Walid dari Al-Auza’i dari Qurrah
dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah: Rasulullah saw. bersabda: “Setiap
perkataan (khutbah) yang tidak dimulai dengan kalimat
“alhamdulillah”, maka ia terputus (tidak sah)” (HR. Abu
Dawud).
2. Shalawat atas Rasulullah saw. Sebagian
ulama mengatakan bahwa shalawat ini tidak wajib. Dengan demikian, sebagian
ulama memandang bahwa shalawat atas Rasul saw. tidak termasuk rukun khutbah.
3. Mengucapkan syahadat (menyaksikan bahwa
tidak ada Tuhan yang sebenarnya melainkan Allah dan menyaksikan bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan-Nya). Sabda Rasulullah saw.:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ
وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالاَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ
حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ
فَهِىَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ»(اخرجه ابو داود).[13]
“Musaddad dan Musa ibn Isma’il telah
menceritakan kepada kami dari ‘Abd al-Wahid ibn Ziyad, ‘Ashim ibn Kulaib dari
ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi saw. bersabda: “Tiap-tiap khutbah yang
tidak ada syahadatnya adalah seperti tangan yang terpotong” (HR. Abu
Dawud).
4. Berwasiat (bernasehat) dengan takwa dan
menyampaikan pesan-pesan kebajikan yang perlu kepada pendengar, sesuai dengan
tempat dan waktu, baik urusan agama maupun urusan dunia, seperti ibadah,
kesopanan, pergaulan, perekonomian, pertanian, siasat, dan sebagainya, serta
bahasa yang dipahami oleh pendengar.
5. Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu dari kedua
khutbah. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
وَحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
يَحْيَى وَحَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ قَالَ
يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ عَنْ سِمَاكٍ
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ كَانَتْ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- خُطْبَتَانِ
يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيُذَكِّرُ
النَّاسَ (اخرجه المسلم).[14]
“Yahya
ibn Yahya, Hasan ibn al-Rabi’, dan Abu Bakr ibn Syaibah menceritakan kepada
kami dari Abu al-Ahwash dari Simak dari Jabir ibn Samurah,
katanya: “Rasulullah saw. khutbah berdiri, beliau duduk di antara keduanya,
lalu beliau membacakan beberapa ayat Al-Qur’an,dan memperingatkan manusia
(HR. Muslim).
6. Berdo’a untuk mukminin dan mukminat pada khutbah
yang kedua. Sebagian ulama berpendapat bahwa do’a dalam khutbah tidak wajib,
sebagaimana juga dalam lain khutbah tidak wajib.
D. SYARAT KHUTBAH
Khutbah harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Kedua khutbah pada Shalat Jum’at dilakukan setelah
tergelincir matahari, dan pada Shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha dilakukan pada
pagi hari.
2. Sewaktu berkhutbah hendaklah berdiri jika mampu.
3. Khatib hendaklah duduk di antara dua khutbah.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرُ
بْنُ الْمُفَضَّلِ قَالَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ خُطْبَتَيْنِ يَقْعُدُ
بَيْنَهُمَا (اخرجه البخاري).[15]
“Musaddad
telah menceritakan kepada kami dari Bisyr ibn Mufadhdhal dari ‘Ubaidullah dari
Nafi’ dari ‘Abdullah, ia berkata: “Nabi saw. berkhutbah dengan dua khutbah, ia
duduk di antara keduanya” (HR. Bukhari).
4. Khutbah hendaklah dengan suara keras yang kira-kira
terdengar oleh sejumlah bilangan orang yang sah Jum’at dengan mereka, karena
maksud dari pelaksanaan khutbah itu adalah untuk pelajaran dan nasehat kepada
pendengar.
5. Khutbah hendaklah
berurutan, baik rukun, jarak keduanya, maupun antara keduanya dengan shalat.
6. Khatib harus
suci dari hadas dan najis.
7. Khatib harus
menutup auratnya.
E. SUNNAT
YANG BERKAITAN DENGAN KHUTBAH
Untuk mencapai keutamaan
Khutbah, seorang khatib disunnatkan agar menerapkan beberapa amalan sebagai
berikut:
1. Hendaklah khutbah itu dilakukan di atas mimbar
atau di tempat yang tinggi. Hal ini didasarkan pada kebiasaan Rasulullah saw. berkhutbah
di atas mimbar tiga tangga yang tempatnya di sebelah kanan pengimaman.
2. Khutbah itu diucapkan dengan kalimat fasih,
terang, mudah dipahami, sederhana, tidak terlalu panjang, dan tidak pula
terlalu pendek.
3. Khatib senantiasa tetap menghadap kepada orang
banyak, jangan berputar-putar, karena
yang demikian itu tidak disyari’atkan.
4. Membaca
surat Al-Ikhlas sewaktu duduk di antara dua khutbah.
5. Menertibkan tiga rukun, yaitu dimulai dengan puji-pujian,
kemudian shalawat atas Nabi saw.,
kemudian berwasiat (bernasehat) takwa kepada Allah. Selain itu, tidak ada
tertib yang sifatnya mengikat.
6. Pendengar hendaklah diam serta memperhatikan
khutbah. Banyak ulama yang mengatakan haram bercakap-cakap ketika mendengarkan
khutbah. Hal demikian didasarkan pada sabda
Rasulullah saw.:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ
أَخْبَرَنِى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ. وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ» (اخرجه البخاري).[16]
“Yahya ibn Bukair telah
menceritakan kepada kami dari Al-Laits dari ‘Uqail dari Ibn Syihab dari Sa’id
ibn Musayyab dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw. telah berkata: “Apabila
engkau katakan kepada temanmu pada hari Jum’at “diam” sewaktu imam berkhutbah,
maka sesungguhnya telah binasalah Jum’atmu” (HR. Bukhari).
7. Khatib hendaklah memberi salam. Hal ini dapat dirujuk
dari Sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ
حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ مُهَاجِرٍ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِىَّ –صلى
الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ سَلَّمَ (اخرجه ابن ماجه).[17]
“Muhammad
ibn Yahya telah mengatakan kepada kami dari ‘Amru ibn Khalid dari Ibn Lahi’ah dari Muhammad ibn Zaid ibn
Muhajir dari Muhammad ibn al-Munkadir dari Jabir ibn ‘Abdullah bahwa Nabi saw.
apabila naik ke mimbar ia mengucapkan salam” (HR. Ibn Majah).
8. Khatib hendaklah duduk di atas mimbar sesudah memberi
salam, dan sesudah duduk itulah azan dilakukan. Petunjuk ini diperoleh dari
hadis berikut:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَ حَدَّثَنَا
الْمُعْتَمِرُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ بِلَالٌ
يُؤَذِّنُ إِذَا جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَإِذَا نَزَلَ أَقَامَ
ثُمَّ كَانَ كَذَلِكَ فِي زَمَنِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا(اخرجه
النسائي).[18]
“Muhammad ibn ‘Abd al-A’la telah memberitakan kepada kami
dari Al-Mu’tamir dari ayahnya dari Al-Zuhri dari Al-Sa’ib ibn Yazid, ia berkata: “Bilal mengumandangkan azan apabila
Rasulullah saw. telah duduk di atas mimbar pada hari Jum’at, maka apabila
Rasulullah telah turun (dari mimbar), maka ia membaca iqamat.
Kemudian hal yang demikian itu berlangsung pada zaman Abu Bakar dan Umar ra.”
(HR. Al-Nasa’i).
F. HAL-HAL
YANG HARUS DIPERHATIKAN KHATIB DALAM BERKHUTBAH
Khutbah, baik yang dilakukan
pada hari Jum’at, ‘Idul Fithri, maupun ‘Idul Adha, bukanlah berpidato biasa.
Khutbah merupakan bagian ibadah yang urgen (penting) bahkan terkait erat dengan
sah atau tidaknya shalat yang menyertainya. Karena itu, khutbah memiliki kode
etik dan rambu-rambu yang telah ditentukan oleh orator ulung dan penghulu para Nabi, yakni Muhammad saw. Dengan berpedoman kepada
ketentuan yang telah ditetapkan Nabi saw., praktek khutbah yang diterapkan oleh
seorang khatib dapat relevan dengan syari’at dan terhindar dari berbagai
kesalahan dan penyimpangan.
Untuk menghindari kesalahan dan
penyimpangan dalam aktivitas khutbah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
oleh seorang khatib, sebagaimana uraian berikut:
1.
Menghindari pengantar khutbah dengan sanjak,
syair, dan puisi
Nabi saw. memulai khutbahnya dengan mengucapkan tahmid,
yaitu kalimat pujian terhadap Allah. Karena itu, tidak ditemukan dasar dari
Sunnah Nabi saw. yang membenarkan iringan mukaddimah khutbah dengan
sanjak, syair, dan puisi. Dalam hadis, hanya ditemukan Rasullah saw. memulai
khutbah dengan kalimat tahmid, sebagaimana hadis berikut:
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ
عَمَّارٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنِى أَبِى عَنْ جَدِّى أَبِى
إِسْحَاقَ عَنْ أَبِى الأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ
أُوتِىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- جَوَامِعَ الْخَيْرِ وَخَوَاتِمَهُ
- أَوْ قَالَ فَوَاتِحَ الْخَيْرِ- فَعَلَّمَنَا خُطْبَةَ الصَّلاَةِ وَخُطْبَةَ
الْحَاجَةِ خُطْبَةُ الصَّلاَةِ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ
وَالطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ. وَخُطْبَةُ الْحَاجَةِ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ
مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ
فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (اخرجه ابن ماجه).[19]
“Telah
menceritakan kepada kami Hisyam ibn ‘Ammar dari ‘Isya ibn Yunus dari ayahku
dari kakekku dari Abu Ishaq dari Abu al-Ahwash dari “Abdullah ibn Mas’ud, ia
berkata: “Rasulullah saw. telah memberikan himpunan kebaikan dan penutupnya,
atau ia berkata dalam mukaddimah khutbahnya, kemudian mengajarkan kami khutbah
shalat, khutbah al-hajah, khutbah shalat, yaitu penghormatan, shalawat,
kebaikan, kesejahteraan, rahmat dan keberkatan Allah atas engkau wahai Nabi.
Keselamatan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan melainkan Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad saw. hamba dan
utusan-Nya. Adapun Khutbah al-Hajah adalah: “Sesungguhnya pujian adalah milik
Allah, kami memuji, meminta pertolongan dan ampunan, dan kami berlindung dari
kejahatan nafsu dan perbuatan kami. Barangsiapa yang mendapat petunjuk dari
Allah, tidak ada kekuatan yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang
tersesat, tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada
Tuhan melainkan Allah, Ia-lah satu-satunya Tuhan, tiada sekutu bagi-Nya, dan
Aku bersaksi bahwa Muhammad saw. hamba dan utusan-Nya” (HR. Ibnu Majah).
2.
Menghindari penggunaan hadis dha’if dan maudhu’
sebagai dalil
Sebelum berkhutbah, seorang khatib harus terlebih dahulu mengecek dan
meneliti keabsahan hadis-hadis yang akan dipergunakan sebagai dalil dalam
berkhutbah. Selama ini, banyak ditemukan khatib mempergunakan hadis-hadis dha’if
(lemah) bahkan maudhu’ (palsu) dan justru dipergunakan sebagai alat
meyakinkan kaum muslimin untuk merealisasikan ajaran yang terkandung di dalam
hadis-hadis tersebut. Hal demikian muncul karena kecerobohan dan
ketidakhati-hatian khatib dalam menyeleksi hadis. Akibatnya, kaum muslimin yang
mendengarnya terjebak dalam kemudharatan yang besar, karena menjadikan
kebatilan sebagai pedoman. Khutbah yang seharusnya bermanfaat positif bagi umat, berbalik arah menjadi tuntunan yang
berdampak negatif. Mengingat betapa besarnya bahaya ini, Nabi saw. mengancam
keras merujuk hadis dha’if dan maudhu’
yang dinisbahkan atas nama beliau, padahal beliau tiada mengungkapkan demikian.
Peringatan keras Rasulullah saw. tersebut dapat dilihat dalam sebuah hadis:
“Barangsiapa menyampaikan hadis dariku yang diketahui
bahwa hadis tersebut adalah dusta, maka dia termasuk salah seorang dari
golongan pendusta” (HR.
Muslim).
Dalam redaksi lain, Rasulullah saw. juga telah mengingatkan
melalui sebuah hadis:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ، يَعْنِي ابْنَ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنِي ابْنٌ
لِكَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: عَلَى هَذَا الْمِنْبَرِ: يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَدِيثِ
عَنِّي، مَنْ قَالَ عَلَيَّ فَلاَ يَقُولَنَّ إِلاَّ
حَقًّا، أَوْ صِدْقًا، فَمَنْ قَالَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ(اخرجه أحمـد).[21]
“Muhammad ibn ‘Ubaid menceritakan kepada kami dari
Muhammad (Ibn Ishak) dari Ibn Lika’b ibn Malik dari Abu Qatadah,
ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda di atas mimbar: “Hai
sekalian manusia, hendaknya kalian tidak berlebih-lebihan meriwayatkan hadis
dariku. Barangsiapa bertutur atas namaku, maka hendaknya ia tidak menyampaikan
kecuali yang haq atau benar. Maka, barangsiapa menyampaikan hadis yang
belum pernah saya katakan, maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya dari
api neraka” (HR. Ahmad).
3.
Meringkas khutbah dan memperpanjang shalat
Seorang khatib hendaklah menyampaikan isi khutbahnya dengan ringkas,
lugas, dan padat. Khatib tidak dibolehkan menyampaikan khutbahnya dengan durasi
yang lebih panjang bila dibandingkan dengan durasi yang dipergunakan untuk
melaksanakan shalat fardhu Jum’at dua rakaat yang dilakukan sesudahnya. Hal
demikian telah dijelaskan oleh Nabi saw. dalam hadis berikut:
حَدَّثَنِى سُرَيْجُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبْجَرَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ وَاصِلِ بْنِ حَيَّانَ
قَالَ قَالَ أَبُو وَائِلٍ خَطَبَنَا عَمَّارٌ فَأَوْجَزَ وَأَبْلَغَ فَلَمَّا
نَزَلَ قُلْنَا يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ فَلَوْ
كُنْتَ تَنَفَّسْتَ. فَقَالَ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- يَقُولُ «إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ
فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا
الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ سِحْرًا» (اخرجه
المسلم).[22]
“Suraij
ibn Yunus telah menceritakan kepada kami’Abd al-Rahman ibn ‘Abd al-Malik ibn
Abjar dari ayahnya dari Washil ibn Hayyan bahwa Abu Wa’il menceritakan: “’Suatu
ketika Ammar berkhutbah di depan kami.
Kemudian ia meringkas secukupnya. Ketika ia turun (dari mimbar),
kami berkata, “Wahai Abu al-Yaqzhan! Anda menyampaikan khutbah secara ringkas
dan pendek. Jika seandainya (anda mau), anda bisa
memanjangkannya”. ‘Ammar menjawab, “Sungguh saya telah mendengar Rasulullah
saw. bersabda, “Sesungguhnya lamanya shalat dan singkatnya khutbah (Jum’at)
seseorang merupakan tanda yang mengindikasikan pemahaman seseorang. Maka,
panjangkanlah shalat dan ringkaskanlah khutbah. Sungguh penjelasan (yang
berlebihan) bagaikan (ungkapan)
sihir” (HR. Muslim).
Melalui hadis di atas dapat dipahami bahwa menyingkat
khutbah dan memanjangkan shalat merupakan gambaran penguasaan keilmuan seorang
khatib dan ukuran pemahamannya terhadap praktek khutbah yang relevan dengan
Sunnah Nabi saw. Bila ditelaah uraian Su’ud ibn Malluh, meringkas khutbah dan
memanjangkan shalat yang diterapkan Nabi saw. tersebut, memiliki beberapa
alasan sebagai berikut:
a. Shalat adalah tujuan utama ibadah Jum’at,
sedangkan khutbah merupakan pengantar shalat Jum’at.
b. Shalat Jum’at ditujukan kepada Allah yang
Mahapencipta, sedangkan khutbah lebih ditujukan kepada manusia.
c. Shalat adalah ibadah pokok dan
bersifat esensial (hakikat), sedangkan khutbah merupakan bagian dari ibadah
shalat.
d. Memanjangkan shalat bertujuan agar jamaah yang
belum hadir dan bertempat tinggal jauh dari masjid dapat mengikutinya,
sedangkan memperpendek khutbah dimaksudkan agar jama’ah mudah memahami dan
mengingat pesan khutbah yang disampaikan.
e. Panjangnya shalat dipandang
sebagai keutamaan, karena shalat adalah zikir yang tertinggi nilainya,
sedangkan dengan meringkas khutbah, khatib dapat terselamatkan dari hal-hal
yang bertentangan dengan hakikat zikir dan terhindar dari ucapan sia-sia.
f. Memanjangkan shalat dipandang sebagai latihan
rohani untuk menentramkan jiwa dan mengkhusyu’kan hati, sedangkan
meringkas khutbah adalah upaya efisiensi waktu agar jama’ah tidak merasa jemu
dan bosan. Berkenaan dengan hal ini, Imam Al-Ghazali ra. menegaskan,
“Seyogyanya khutbah disampaikan secara singkat, padat, dan lugas”.[23]
4.
Menyampaikan khutbah dengan semangat dan bahasa
yang tegas, serta menghindari humor
Dalam menyampaikan isi khutbah, seorang khatib harus bersemangat dan
mampu pula membangkitkan semangat dan perhatian jama’ah yang sedang mendengar.
Membangkitkan semangat harus dapat dilakukan dengan suara yang kuat, bahasa
yang tegas, dan retorika (seni berbicara) yang baik. Khutbah yang baik adalah
khutbah yang dapat menggugah kesadaran jama’ah untuk bangkit dari kealpaannya
agar menjadi muslim yang bertakwa dan bermartabat di sisi Allah, serta
bermanfaat dalam kehidupan sosial. Agar khutbah tersebut berkesan dan menggugah
jamaah, khatib dilarang menggunakan kata-kata humor yang dapat membuat
pendengar tertawa yang berakibat rusaknya ibadah, baik pada shalat Jum’at, Idul
Fitri, maupun Idul Adha. Pemahaman terhadap hal demikian dapat diperhatikan
melalui hadis berikut ini:
وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ عَنْ
جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَطَبَ
احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ
غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْش (اخرجه المسلم)[24]
“Muhammad
ibn al-Mutsanna dari ‘Abd al-Wahhab ibn ‘Abd al-Majid dari Ja’far ibn Muhammad
dari ayahnya dari Jabir ibn ‘Abdullah, ia berkata: “Rasulullah saw. apabila
berkhutbah kelihatan merah kedua matanya, suaranya keras, dan semangatnya
bangkit bagaikan seorang panglima yang memperingatkan kedatangan musuh” (HR. Muslim).
5.
Menghindari tergesa-gesa dalam menyampaikan
khutbah kedua dan tidak membatasinya pada shalawat dan do’a
Khatib harus menyeimbangkan antara penyampaian khutbah pertama dan
khutbah yang kedua. Kedua khutbah harus disampaikan dengan tenang dan lantang,
tanpa ada unsur tindakan dan sikap khatib mengurangi “hak penyampaian” pada khutbah
kedua. Realita yang ditemukan di masyarakat, banyak khatib yang hanya memandang
penting khutbah pertama saja dan agak mengabaikan khutbah kedua. Kondisi
demikian terlihat pada khatib yang hanya teratur, tenang dan lantang dalam
menyampaikan isi khutbah pertama, namun pada khutbah kedua, ia menyampaikan
dengan cepat dan suara yang tidak lantang. Praktek seperti inilah yang
bertentangan dengan Sunnah Nabi saw. Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa di antara
hal-hal yang dimakruhkan selama berkhutbah adalah tergesa-gesa dalam
menyampaikan khutbah kedua dan tidak melantangkan suara ketika menyampaikannya.[25]
6.
Tidak mengulas topik politik
Khatib harus menghindari memilih dan mengangkat topik khutbah yang tidak
memiliki landasan syari’at, di antaranya membahas dunia politik yang tidak
menggiring kaum Muslimin untuk bertakwa. Jamaah hanya dijejali oleh
jargon-jargon dan pemikiran politik yang dikutip dari koran, majalah, dan
televisi, namun materi khutbah kering dari ayat Al-Qur’an dan Hadis/Sunnah. Untuk
menjauhi praktek buruk dalam berkhutbah tersebut, setiap khatib harus
memperhatikan deskripsi umum dari lingkup materi yang dapat disampaikan dalam
khutbah sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini:
1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar
mengenal Allah dan bertakwa kepada-Nya.
2. Mengajarkan berbagai prinsip dasar Islam pada
masyarakat, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat.
3. Mengajak
masyarakat untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
4. Memotivasi
masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
5. Menganjurkan masyarakat agar bekerja sama dalam
hal kebaikan, menjaga amanah, dan menumbuhkan semangat persaudaraan.
6. Membersihkan hati masyarakat dari berbagai mitos
negatif yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam keyakinan sesat.
7. Mengutip sya’ir dimaklumi hanya sekedar mendukung gagasan khutbah.
8. Memelihara sikap agar tidak berlebih-lebihan
dalam khutbah.[26]
7.
Mengamalkan Surah-surah yang disunnahkan dibaca
dalam shalat Jum’at
Setelah selesai berkhutbah pada Shalat Jum’at, khatib yang merangkap
sebagai Imam hendaklah memilih dan mempergunakan surah-surah dalam shalat
berjamaah sesuai dengan ketentuan yang disunnahkan Nabi saw. Demikian pula pada
shalat berjamaah ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Dalam hadis riwayat ‘Abdullah ibn
Maslamah, didapati informasi bahwa sejumlah sahabat mencontoh kebiasaan Nabi
saw. dalam shalat Jum’at membaca Surat Al-Jumu’ah setelah Fatihah
pada rakaat pertama, dan membaca Surah Al-Munafiqun pada rakaat kedua. Hal
ini dijelaskan melalui hadis:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ -وَهُوَ ابْنُ بِلاَلٍ- عَنْ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِى
رَافِعٍ قَالَ اسْتَخْلَفَ مَرْوَانُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَلَى الْمَدِينَةِ
وَخَرَجَ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى لَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ الْجُمُعَةَ فَقَرَأَ
بَعْدَ سُورَةِ الْجُمُعَةِ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ (إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ) -قَالَ- فَأَدْرَكْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ حِينَ انْصَرَفَ
فَقُلْتُ لَهُ إِنَّكَ قَرَأْتَ بِسُورَتَيْنِ كَانَ عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ
يَقْرَأُ بِهِمَا بِالْكُوفَةِ. فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ (اخرجه المسلم).[27]
“’Abdullah ibn Maslamah
ibn Qa’nab menceritakan dari Sulaiman (Ibn Bilal) dari Ja’far
dari ayahnya dari Ibn Abu Rafi’, ia berkata:”Abu Hurairah telah menggantikan
Marwan (sebagai khatib) di Madinah, dan kembali ke Makkah lalu shalat
Jum’at bersama kami, ia membaca Surah Al-Jumu’ah pada rakaat pertama dan pada
rakaat terakhir ia membaca “Idza Ja’akal Munafiqun” (Surah
Al-Munafiqun). Ketika Abu Hurairah selesai mengerjakan shalat, saya
datang menghampiri dan berkata, “Wahai Abu Hurairah, sungguh anda telah membaca
surah yang pernah dibaca oleh Ali di Kufah?” Abu Hurairah menjawab,
“Sesungguhnya saya mendengar Rasulullah
saw. membaca kedua surat tersebut ketika shalat Jum’at (HR. Muslim).
Selain itu, ditemukan pula riwayat bahwa Rasulullah saw.
adakalanya membaca Surah Al-Jumu’ah setelah Fatihah pada rakaat
pertama, kemudian dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Ghatsiyah pada
rakaat kedua. Keterangan ini diperoleh dari hadis berikut:
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِىُّ
عَنْ مَالِكٍ عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ سَعِيدٍ الْمَازِنِىِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ أَنَّ الضَّحَّاكَ بْنَ قَيْسٍ سَأَلَ
النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ مَاذَا كَانَ يَقْرَأُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى إِثْرِ سُورَةِ الْجُمُعَةِ فَقَالَ كَانَ
يَقْرَأُ هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ (اخرجه
ابو داود).[28]
“Al-Qa’nabi menceritakan
dari Malik dari Dhamrah ibn Sa’id al-Mazinni dari ‘Ubaidillah ibn ‘Abdillah ibn
‘Utbah bahwa Al-Dhahhak ibn Qais, ia ditanyai Nu’man ibn Basyir: “Surah apa
yang dibaca Rasulullah saw. (pada rakaat kedua) di saat Jum’at
setelah Surah Jumu’ah?” Ia (Al-Dhahhak) menjawab: “Rasulullah
membaca Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah”.
Pada
riwayat lain, hadis yang dinukil Yahya ibn Yahya mengemukakan bahwa Rasulullah
sering pula membaca Surah Al-A’la setelah Fatihah pada rakaat pertama dan
membaca Surah Al-Ghatsiyah pada rakaat kedua. Penjelasan demikian
ditemukan pada hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَإِسْحَاقُ جَمِيعًا عَنْ جَرِيرٍ -قَالَ
يَحْيَى أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ- عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ
الْمُنْتَشِرِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَبِيبِ بْنِ سَالِمٍ مَوْلَى النُّعْمَانِ بْنِ
بَشِيرٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ-صلى الله
عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ
رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ
وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ (اخرجه المسلم).[29]
“Yahya ibn
Yahya, Abu Bakr ibn Abi Syaibah dan Ishaq menceritakan kepada kami dari Jarir
dari Ibrahim ibn Muhammad ibn al-Muntasyir dari ayahnya dari Habib ibn Salim maula
(budak) Al-Nu’man ibn Basyir dari Al-Nu’man ibn Basyir ia berkata:
“Rasulullah saw. pada (shalat) dua hari raya dan Jum’at membaca
Surat “Sabbihismarabbikal ‘A’la dan Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah. Al-Nu’man
juga berkata: “Apabila berkumpul hari raya dan Jum’at pada suatu hari, ia (Rasulullah)
juga membaca kedua surah itu dalam
kedua shalat (‘Id dan Jum’at). (HR. Muslim).”
Dengan merujuk kepada ketiga hadis shahih di atas, dapat disimpulkan
bahwa Nabi saw. membaca surah ba’da
Fatihah pada Shalat Jum’at mempergunakan tiga variasi pilihan, yaitu
membaca Al-Jumu’ah dan Al-Munafiqun, atau surah Al-Jumu’ah dan
Al-Ghatsiyah, atau Al-A’la dan Al-Ghatsiyah. Karena itu,
ketiga variasi tersebut dikategorikan Sunnah yang bebas dipilih oleh para imam
yang memimpin Shalat Jum’at berjama’ah. Sementara untuk Shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul
Adha, Nabi saw. sering mempergunakan Surah Al-A’la pada rakaat pertama dan Surah Al-Ghatsiyah
pada rakaat kedua.
8.
Menghindari membaca petikan ayat dengan suara
berbeda
Pada umumnya ulama melarang dan tidak membenarkan para khatib ketika
menyampaikan khutbah membaca ayat Al-Qur’an dengan intonasi suara yang berbeda
antara penggalan ayat yang satu dengan penggalan lainnya pada suatu ayat yang
sedang dibacakan. Terkadang khatib yang berbuat seperti itu bertujuan agar jama’ah
terpesona dengan suaranya yang berirama dan menarik perhatian pendengar. Tindakan
tersebut harus hindari oleh seorang khatib, karena Nabi saw. tidak pernah
mencontohkan demikian.
9.
Berpesan dengan Surah Qaf ketika khutbah
Berpesan atau taushiah dengan muatan surah Qaf dalam praktek
khutbah merupakan sunnah Nabi saw. Hal ini yang sering diabaikan oleh para
khatib di zaman sekarang, bahkan sebagian
dari mereka ada yang sama sekali belum pernah mendapat informasi tentang
kebiasaan Nabi saw. yang pada setiap khutbah Jum’at bertaushiah dengan
sebagian ayat pada surah Qaf. Padahal kebiasaan demikian dapat ditemukan dalam
hadis:
وَحَدَّثَنَا عَمْرٌو
النَّاقِدُ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ حَدَّثَنَا أَبِى
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى بَكْرِ
بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ الأَنْصَارِىُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ زُرَارَةَ عَنْ أُمِّ هِشَامٍ
بِنْتِ حَارِثَةَ بْنِ النُّعْمَانِ قَالَتْ لَقَدْ كَانَ تَنُّورُنَا وَتَنُّورُ
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَاحِدًا سَنَتَيْنِ أَوْ سَنَةً وَبَعْضَ
سَنَةٍ وَمَا أَخَذْتُ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) إِلاَّ عَنْ لِسَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يَقْرَؤُهَا كُلَّ يَوْمِ جُمُعَةٍ عَلَى الْمِنْبَرِ إِذَا خَطَبَ النَّاسَ (اخرجه
المسلم).[30]
“’Amru
al-Naqid menceritakan kepada kami dari Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’d dari ayahnya
dari Muhammad ibn ‘Amru ibn Hazm al-Anshary dari Yahya ibn ‘Abdullah ibn ‘Abd
al-Rahman ibn Sa’d ibn Zurarah dari Ummu Hisyam binti Haritsah ibn Al-Nu’man, ia berkata:“Tidaklah saya
mengambil “Qaf wal Qur’anil Majid, kecuali lisan Rasulullah yang selalu beliau
baca pada setiap Jum’at ketika beliau berkhutbah kepada orang-orang di atas
mimbar” (HR. Muslim).
Menurut Imam Al-Shan’ani dalam kitabnya Subul al-Salam, hadis di
atas merupakan dalil ditetapkannya Surah Qaf sebagai bagian dari taushiah
pada setiap khutbah Jum’at.[31] Para
ulama dalam hal ini mengemukakan bahwa alasan pemilihan surah ini oleh Nabi
saw. adalah karena muatannya menyinggung tentang kebangkitan manusia, kematian,
nasihat, dan larangan yang keras. Beliau selalu menjaga dan mengamalkan surah
ini sebagai pilihan adalah karena kandungan surah ini sangat tepat dan efektif
dalam memberikan nasehat dan wejangan.[32]
10. Tidak
memulai Shalat Jum’at sebelum shaf lurus dan rapi
Sebelum memulai shalat Jum’at berjama’ah, khatib yang akan bertindak
sebagai imam harus memerintahkan ma’mum untuk meluruskan dan merapikan shaf.
Tidak dibenarkan imam terburu-buru memulai shalat dengan mengangkat takbir
sebelum barisan ma’mum lurus dan rapi. Mengingat betapa pentingnya tugas
imam dalam mengatur shaf dapat diperhatikan dari hadis Nabi saw.:
حَدَّثَنَا أَبُو
الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ
أَخْبَرَنِى عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ أَبِى الْجَعْدِ
قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله
عليه وسلم- «لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ» (اخرجه
البخاري).[33]
“Abu Walid
Hisyam ibn ‘Abd al-Malik menceritakan kepada kami dari Syu’bah dari ‘Amru ibn
Murrah dari Salim ibn Abi al-Ja’d dari Nu’man ibn Basyir, ia berkata: “Nabi
saw. bersabda: Luruskanlah shaf kalian atau Allah yang akan mencerai-beraikan
wajah kalian” (HR. Bukhari).
11. Tidak
menutup khutbah dengan lafaz innallaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan atau
lafaz-lafaz lainnya
Kebiasaan para khatib menutup khutbahnya dengan lafaz innallaha
ya’muru bil ‘adli wal ihsan atau udzkurullah yadzkurkum atau
lafaz-lafaz lainnya tidak ditemukan di dalam sunnah yang pernah dicontohkan
Nabi saw. Penggunaan lafaz-lafaz ini muncul pada generasi setelah Nabi dan para
sahabat, seperti lafaz innallaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan pertama
kali ditampilkan oleh Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz
untuk mengganti lafaz yang digunakan Bani Umayyah ketika menutup khutbahnya
dengan mencela Ali ibn Abi Thalib. Sedangkan lafaz innallaha wamala’ikatahu
yushalluna ‘alan Nabi yang dimunculkan oleh Al-Mahdi al-‘Abbasi. Karena
itu, para khatib seharusnya mengetahui bahwa lafaz-lafaz tersebut bukanlah
berasal dari Sunnah Nabi saw., sehingga tidak menjadikannya sebagai suatu
kelaziman (kebiasaan).
12. Memberikan
khutbah yang menyentuh hati pendengar
Khatib harus berupaya menyampaikan isi khutbahnya dengan menyentuh hati
pendengar, sehingga penyampaian materi khutbah berjalan efektif, menarik, dan
relevan dari metode orasi yang dicontohkan Nabi saw. Khatib hendaknya
membiasakan diri menggunakan ungkapan-ungkapan yang bervariasi, seperti
penegasan, larangan, berita deskriptif, penolakan, motivasi, dan sebagainya.
Dengan demikian khutbah menjadi lebih enak didengar, segar, dan menyentuh hati.
13. Tidak
mengawali khutbah Shalat ‘Id dengan takbir
Menurut Ibn Qayyim, semua khutbah yang dilakukan Nabi saw. dimulai dengan
memuji Allah (kalimat tahmid). Tidak ada satu pun hadis yang menyatakan
bahwa beliau mengawali khutbah ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha dengan bertakbir.
Hadis yang diriwayatkan Ibn Majah hanya menjelaskan bahwa Nabi saw. banyak bertakbir
di tengah-tengah khutbah dalam dua hari raya., yakni ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Namun hadis
tersebut tidak menunjukkan bahwa beliau melakukannya ketika mengawali khutbah.
14. Tidak
mengadakan pengajian (halaqah) sebelum Khatib berkhutbah
Mengadakan pengajian (halaqah) dalam bentuk majelis ta’lim
sebelum khatib menyampaikan khutbah di atas mimbar dilarang oleh Nabi saw.
dalam salah satu hadisnya.
Majelis ta’lim yang dilakukan sebelum khatib berkhutbah dilarang,
karena mengganggu jama’ah shalat Jum’at untuk
berzikir, membaca Al-Qur’an, shalat
sunnah, menertibkan shaf, dan mempersiapkan diri untuk menyimak khutbah
yang diperintahkan Allah melalui perantaraan Rasul-Nya.
Jika syari’at memerintahkan agar khutbah disampaikan dengan ringkas agar
tidak menimbulkan kejemuan dan sebagai bentuk perhatian terhadap orang-orang
yang memilki kesibukan tersendiri, maka penyampaian pelajaran (ta’lim)
sebelum khutbah Jum’at dan aktivitas lain semisalnya tentu saja “lebih
dilarang”.
15. Menyertakan
dalil Al-Qur’an dan Hadis dalam khutbah
Dalil Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. adalah landasan yang paling utama dan
kokoh dalam berkhutbah. Sebelum khatib menguraikan materi khutbahnya, khatib
hendaklah terlebih dahulu menjelaskan kepada jama’ah topik apa yang akan
dibahas atau masalah apa yang akan diulas. Kemudian khatib membacakan ayat
Al-Qur’an sebagai landasan pembahasan yang dipandang relevan dengan topik yang
disampaikan. Setelah itu, materi khutbah akan lebih mantap apabila dikemukakan
dengan hadis-hadis pendukung atau pendapat para ulama terkemuka yang berkaitan
dengan topik atau materi tersebut. Karena itu, seorang khatib harus menghindari
penyampaian materi khutbah berdasarkan karangan dan ide pemikirannya sendiri
tanpa mempergunakan dalil Al-Qur’an
dan Sunnah.
16. Hendaklah
Menyampaikan khutbah yang kontekstual
Khatib yang baik, cerdas dan ‘arif, adalah seorang da’i yang mampu
menyampaikan materi khutbahnya relevan dengan fenomena dan kodisi yang dialami
oleh masyarakat setempat, atau yang sedang hangat-hangatnya menjadi
problematika yang dihadapi kaum Muslimin. Selain itu, gagasan yang disampaikan
melalui materi khutbah tersebut mampu menjawab dan memberikan solusi terhadap
permasalahan kontemporer yang sedang dihadapi umat, baik dalam lingkup duniawi
maupun ukhrawi.
Khutbah yang efektif adalah khutbah yang relevan dengan konteks kehidupan
zaman, tempat, situasi, dan kondisi yang sedang berlangsung. Ketika saat puasa
Ramadhan misalnya, hendaknya seorang khatib menjelaskan hukum, tujuan, dan
hikmah berpuasa, atau keistimewaan bulan Ramadhan, atau nilai pendidikan dan
manfaat kesehatan yang terkandung dalam ibadah puasa itu. Kuranglah tepat
konteksnya, jika pada saat Ramadhan itu yang dibahas oleh khatib tentang ibadah
haji, atau materi yang tidak sesuai dengan musimnya.
17. Tidak
dianjurkan menoleh ke kanan dan ke kiri
Mayoritas ulama memandang “makruh” apabila khatib menyampaikan
khutbah sambil menoleh ke kanan dan kiri.
Sebab hal ini selain bertentangan dengan sunnah, juga terkesan kurang
beradab. Di samping itu, menoleh ke salah satu sisi, berarti menimbulkan kesan bahwa ia tidak memperhatikan sisi yang lain.
Hal demikian dapat dimaklumi karena ketika seorang khatib berpaling dari lawan
bicara, maka hal itu tentu akan memutuskan komunikasi dan termasuk etika yang
tidak baik. Jika ia menatap sepenuhnya, semua jamaah yang hadir akan
mendengarnya. Namun jika ia menoleh ke kanan, maka jamaah di sisi kiri akan
kurang mendengar. Begitu pula sebaliknya, jika ia menoleh ke kiri, maka jamaah
di sisi kanan akan kurang menangkap suaranya.
18. Bersikap
tenang ketika berkhutbah
Dalam menyampaikan khutbah, khatib disunnatkan bersikap tenang, tidak
melakukan gerakan-gerakan tubuh yang tidak diperlukan, seperti
melenggak-lenggok, menghentakkan kaki, berteriak, dan sebagainya. Adapun yang
dianjurkan menurut syari’at, khatib atau juru dakwah semestinya tidak
menggerakkan kedua tangannya ketika menyampaikan khutbah. Menurut Imam Syafi’i,
jika khatib tidak menopang dirinya dengan tongkat, sebaiknya ia tidak
menggerakkan tubuh dan kedua tangannya. Hal itu bisa dilakukan dengan
meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya atau membiarkannya terjulur
tenang di samping tubuh.[34]
19. Menghindari
mengobral ‘aib seseorang melalui khutbah
Meskipun khutbah adalah salah satu media untuk melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar, namun khatib sebagai juru dakwah tidak boleh menyerang
seseorang secara terang-terangan dengan cara membeberkan kejelekan atau membuka
‘aib orang lain yang berakibat seseorang merasa terpojok dan malu di hadapan
jama’ah. Padahal untuk masalah ini Nabi saw. telah berpesan kepada para
sahabatnya tentang etika menasehati pejabat pemerintahan yang dapat dipahami
melalui hadis berikut:
قال عياض لهشام: قد سمعنا ما سمعت،
ورأينا ما رأيت، أولم تسمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «من أراد أن ينصح
لذي سلطان بأمر فلا يبده له علانية، ولكن ليأخذ بيده فيخلو به، فإن كان قبل منه
فذاك، وإلا قد كان أدى الذي عليه»
(اخرجه الطبراني).[35]
“’Iyadh
berkata kepada Hisyam: “Sesungguhnya kami mendengar sesuatu yang engkau dengar,
dan kami melihat sesuatu yang engkau lihat, atau tidakkah engkau
mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa ingin menasehati
penguasa, maka janganlah ia mengungkapkannya secara terang-terangan. Tetapi,
hendaknya ia menemuinya dan (menyampaikan nasehat) kepadanya saat
sendirian. Jika ia menerima, maka itu sangat baik, namun jika ia tidak
menerima, berarti ia telah melaksanakan kewajibannya” (HR. Al-Thabrani).
Adapun sikap yang baik dari seorang khatib ketika membahas penyimpangan
atau kemunkaran yang terjadi di kalangan pejabat pemerintahan adalah dengan
sindiran atau menyinggung pokok persoalan secara umum, tanpa harus
menyatakannya secara terbuka, apalagi menyebutkan nama dan identitasnya.
20. Khatib
tidak mengangkat tangan ketika berdo’a
Mengangkat tangan dalam berdo’a ketika khutbah bukan merupakan bagian
dari Sunnah, karena itu, kebanyakan ulama berpendapat bahwa perilaku itu makruh.
Dalam hal ini, Al-Baghawi mempertegas bahwa mengangkat tangan ketika berdo’a
dalam khutbah merupakan perbuatan yang tidak mempunyai landasan syari’at.
Adapun jika dilakukan ketika memanjatkan do’a istisqa’, maka hukumnya sunnah. Karena
itu, jika khatib sedang memanjatkan doa istisqa’
pada khutbah Jum’at, hendaklah ia mengangkat kedua tangannya sebagaimana
dilakukan oleh Nabi.[36]
Selain untuk keperluan do’a istisqa’, maka pada khutbah-khutbah biasa lainnya,
baik pada Jum’at, ‘Idul Fitri maupun ‘Idul
Adha, Nabi saw. hanya memberi isyarat dengan “mengangkat jari telunjuk
kanannya yang terletak di samping ibu jari” tatkala memanjatkan do’a ketika khutbah. Hal ini dapat dipedomani pula
dari sebuah hadis yang berisi teguran Nabi saw. terhadap perilaku Marwan yang
mengangkat tangan saat berdo’a pada khutbah Jum’at, sebagai berikut:
وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى
بِشْرَ
بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ
قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا. وَأَشَارَ
بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ (اخرجه المسلم).[37]
“Abu
Bakr ibn Abu Syaibah menceritakan kepada kami dari ‘Abdullah ibn Idris dari
Hushain dari ‘Umarah ibn Ru’aibah yang mengatakan bahwa ia melihat Bisyr ibn
Marwan di atas mimbar (sedang berdo’a pada hari Jum’at) sambil
mengangkat tangan. ‘Umarah ibn Ru’aibah pun berkata, “semoga Allah mencelakakan
kedua tangan itu. Sungguh saya telah melihat Rasulullah saw. (ketika
berada di atas mimbar) tidak berbuat lebih dari ini”. Ia memberi isyarat
dengan jari telunjuk di samping ibu jari” (HR. Muslim).
21. Menghindari
menyanjung nama penguasa dalam khutbah
Khatib dibolehkan mendo’akan para penguasa agar ia berada dalam kebaikan,
tetapi tidak dibenarkan menyanjung dan menyebut-nyebut penguasa dengan sifat
yang berlebih-lebihan ketika mendo’akannya. Bahkan, penguasa yang zhalim
sekalipun dibolehkan mendo’akannya agar kembali pada kebaikan, dan menurut
sebagian ulama justru sunnah hukumnya mendo’akan dengan tujuan kebaikan.
22. Menghindari
berdo’a menghadap kiblat ketika khatib berada di mimbar sebelum menghadap
jama’ah
Para khatib harus menghindari kebiasaan berdo’a menghadap kiblat ketika
berada di mimbar sebelum menghadap ke arah jama’ah. Ibn Taimiyah menyatakan
bahwa hal demikian tidak mempunyai landasan dalil dari sumber mana pun. Ibn
al-Aththar menegaskan perbuatan seperti itu merupakan bid’ah tercela
yang sudah sejak lama diingkari oleh para ulama.[38]
23. Tidak
mentradisikan pakaian berwarna hitam ketika berkhutbah
Salah satu penyimpangan yang dilakukan khatib adalah mengenakan pakaian
hitam sebagai tradisi atau kebiasaan berkhutbah pada daerah kampung tertentu.
Sebaliknya disunnahkan bagi jama’ah ketika menunaikan ibadah Jum’at untuk
mengenakan pakaian berwarna putih, apalagi bagi seorang khatib. Meskipun
menggunakan pakaian berwarna lain tidak dilarang, tapi dalam kebanyakan
praktiknya, Nabi saw. mengenakan pakaian berwarna putih. Tegasnya, walaupun
mengenakan baju berwarna hitam dibolehkan, karena Nabi saw. pernah mengenakannya
ketika berkhutbah, namun jika hal itu terus menerus menjadi kebiasaan bagi
khatib Jum’at tanpa mengenakan pakaian dengan variasi warna lainnya, maka
perbuatan demikian menjadi bid’ah.
24. Tidak
memperlambat langkah ketika naik ke mimbar dan tidak pula tergesa-gesa
Bagi khatib yang masih muda dan energik, tidak sepantasnya membuat jamaah
panik dan lama menunggu, hanya karena ia harus menaiki tangga mimbar secara
perlahan-lahan, laksana orang yang lanjut usia. Demikian pula, khatib juga
dilarang tergesa-gesa atau terburu-buru naik ke tangga mimbar. Dalam setiap
gerak, khatib mesti bersikap tenang dan berwibawa.
25. Tidak
mengeraskan suara ketika bershalawat
Mengeraskan suara ketika bershalawat bertentangan dengan tuntunan
syari’at, karena tidak terdapat dalam sunnah atau kebiasaan yang diajarkan Nabi
saw. Shalawat sama halnya dengan do’a,
yang secara umum disunnahkan
membacanya dengan suara lirih, bukan keras. Dalam praktek khutbah, Nabi saw.
hanya mengeraskan suara ketika menyampaikan wejangan atau nasehat, karena tujuan
dari khutbah intinya adalah nasehat. Nabi sendiri memerintahkan umatnya
bershalawat kepadanya ketika melaksanakan shalat. Namun tidak ada dalil yang
menganjurkan untuk mengucapkannya dengan suara keras, meskipun shalat tersebut
termasuk shalat yang bacaannya dikeraskan, seperti fardhu Jum’at, Maghrib,
Isya’, dan Subuh.
26. Menghindari
mengetuk mimbar tiga kali dengan tongkat ketika naik mimbar
Kebiasaan mengetuk mimbar tiga kali dengan tongkat ketika naik ke mimbar
khutbah oleh sebagian besar ulama dipandang bid’ah. Setidak-tidaknya ada
3 (tiga) alasan yang tidak membenarkan khatib melakukan perbuatan tersebut,
yaitu:
a. Perbuatan ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi
saw., sebab semua ibadah hanya bisa diterapkan dengan meneladani beliau.
b.Mimbar adalah barang wakaf yang harus dijaga. Tindakan mengetuknya pada
setiap kali naik ke mimbar dapat merusak mimbar, meskipun ada kalangan yang
membolehkan hal itu dilakukan, namun pendapat ini dimentahkan dengan dalil ittiba’
(mengikuti kebiasaan Rasulullah saw.).
c.Ketukan tersebut menimbulkan kegaduhan dan
mengganggu kekhusyu’an dan kesakralan ibadah Jum’at.
27. Menggunakan
bahasa khutbah sesuai dengan kemampuan berpikir jama’ah
Khatib yang ‘arif adalah khatib yang memahami tingkat intelektualitas
jama’ah yang menjadi objek dakwahnya, sehingga ia memilih pola bahasa yang
digunakan dan materi yang disampaikan serta menerapkan metode yang tepat agar
materi khutbah yang diuraikan dapat dipahami dengan mudah oleh jama’ah dan
berkesan di hatisanubari mereka. Pemahaman yang baik dan materi yang berkesan
inilah yang akan mampu memotivasi umat untuk bangkit dengan kesadarannya yang
tulus, sehingga dapat mengamalkan sesuatu yang disampaikan khatib dalam upaya
pembaharuan dan peningkatan ketakwaan kepada Allah swt.
28. Menyampaikan
apa yang telah diperbuat
Khatib adalah sosok yang diteladani umat, karena itu khatib yang baik
adalah da’i yang konsisten antara sesuatu yang disampaikannya dengan apa yang
diperbuatnya, atau lebih teladan lagi, apa yang dikhutbahkannya di depan jama’ah
sudah terlebih dahulu dilakukan atau diamalkannya. Sejatinya, figur khatib
model inilah yang harus dihasilkan oleh lembaga pengkaderan dakwah Islam. Khatib
seperti inilah yang benar-benar takut dan waspada terhadap teguran keras dari
Allah yang terdapat dalam Surah Al-Shaf ayat 2-3:
“Wahai orang-orang
yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan”.
Selain itu,
Allah juga menegur dalam Surah Al-Baqarah ayat 44:
“Mengapa kamu suruh
orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)
mu sendiri, Padahal kamu membaca Al-Kitab, maka tidakkah kamu berpikir?”.
G. METODE
DALAM KHUTBAH
Secara umum, metode adalah cara
untuk melakukan atau menyampaikan sesuatu.[39] Atas
dasar ini dapat dipahami bahwa metode khutbah adalah cara atau jalan yang
dipakai oleh seorang khatib untuk menyampaikan materi khutbahnya. Sekurang-kurangnya
metode penyampaian seorang khatib dalam khutbahnya mempergunakan dua metode,
yaitu hikmah dan ceramah.
1. Metode Hikmah
Al-Raghib al-Asfahani dalam Mu’jam
Mufradat Alfaz al-Qur’an menyebutkan bahwa hikmah adalah mencapai
kebenaran dengan ilmu dan akal.[40] Dalam
kaitannya dengan dakwah, Al-Maraghi mempertegas bahwa hikmah adalah
perkataan yang pasti disertai dalil-dalil untuk menjelaskan kebenaran dan
menghilangkan keraguan.[41] Sebagai
metode dalam khutbah, hikmah adalah penyampaian ajaran Islam untuk
menyampaikan masyarakat pada pemahaman yang benar dengan mempertimbangkan
tingkat kemampuan dan daya pikir masyarakat penerima khutbah.
Metode hikmah ini memiliki jangkauan yang sangat luas, dan dapat dikenali
dengan berbagai macam bentuk, antara lain:
a. Hikmah dalam memilih dan menyusun kata-kata
yang tepat
b. Hikmah dalam membangkitkan semangat
pendengar
c. Hikmah dalam menggiring pendengar untuk memelihara
dan meningkatkan keimanan
d. Hikmah dalam arti mengenali kapasitas
intelektual pendengar
e. Hikmah dalam memberikan pemahaman yang
tepat dan benar serta mampu melenyapkan keraguan pendengar
f. Hikmah
dalam menggiring kesadaran pendengar untuk ikhlas menjalankan ajaran Islam,
tanpa merasa terpaksa atau keberatan
g. Hikmah dalam menanamkan pembiasaan pada
masyarakat pendengar agar mengamalkan ibadah sebagai kebutuhan utama
h. Hikmah dalam uswatun hasanah
(teladan yang baik).
2. Metode
Ceramah
Metode ini cukup potensial dalam
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan daya pikir dan usaha-usaha yang
menyangkut perubahan sikap dan tingkah laku manusia. Melalui metode ceramah,
seorang khatib akan berhasil dengan baik dalam menyampaikan khutbahnya, apabila
menguasai beberapa syarat:
a. Khatib harus mempelajari sifat audien (jama’ah,
pendengar). Dalam hal ini khatib harus mengetahui dan menyadari siapa
pendengarnya (audience approach).
b. Menyesuaikan materi khutbah dengan minat dan
tingkat pemahaman pendengar.
c. Khatib harus mengorganisasikan bahan ceramahnya
dengan baik dan menyajikannya dengan kalimat yang efektif. Dengan kata lain,
khutbah yang disampaikan harus dengan bahasan yang mudah dimengerti oleh
pendengar.
d.Menguasai materi yang akan disampaikan dengan
sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan sehari-hari.
e. Menyesuaikan bahan dengan taraf kejiwaan, juga
lingkungan sosial dan budaya pendengar.
f. Suara dan
bahasa diatur dengan sebaik-baiknya, meliputi ucapan, tempo, melodi ritme, dan
dinamika.
g. Mampu tampil dengan sikap dan cara berdiri yang
simpatik.
h. Isi khutbah yang disampaikan harus dapat menambah
pengetahuan pendengar (informatife).
i. Menggunakan
waktu yang tersedia sebaik-baiknya (disiplin waktu).
j. Memberikan motivasi mengapa uraian yang
disampaikan perlu diketahui oleh para pendengar (logical reasoning),
sehingga menimbulkan kesadaran bahwa uraian itu menyangkut kepentingan para
pendengarnya (common interest).
h. Menggugah
kemampuan para pendengar untuk berpartisipasi dalam perwujudan atau pengamalan
atas materi khutbah yang disampaikan.
H. LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DILAKUKAN SEORANG
KHATIB UNTUK PEMANTAPAN KHUTBAH
Khatib yang baik harus melakukan 4
(empat) langkah untuk mencapai kemantapan dan kesuksesan dalam berkhutbah,
yaitu tahap persiapan, penyampaian, penutupan, penilaian (evaluasi). Keempat
tahapan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Tahap
Persiapan
1. Memperhatikan dan memperhitungkan hal-hal yang akan dihadapi
2. Mempertimbangkan sasaran target yang akan dicapai
3. Mengumpulkan bahan
4. Memilih dan menyempitkan topic
5. Mempertimbangkan materi yang hendak disajikan
6. Membuat kerangka uraian
7. Menentukan teknik penyampaian
8. Memperhatikan di mana khutbah akan dilakukan
9. Melatih diri dengan sungguh-sungguh.
2. Tahap
Penyampaian
1. Membuka khutbah dengan kalimat salam
2. Memulai muqaddimah dengan hamdalah
3. Membaca shalawat
4. Membaca dua kalimat syahadat
5. Berwasiat takwa
6. Membaca ayat Al-Qur’an
7. Mengemukakan topik khutbah
8. Mendeskripsikan latar belakang masalah
9. Menghubungkan peristiwa yang sedang hangat
10. Menghubungkan dengan peristiwa yang sedang
diperingati
11. Menghubungkan dengan tempat atau lokasi khutbah
12. Menghubungkan dengan suasana emosi yang
menguasai khalayak
13. Menghubungkan dengan sejarah masa lalu
14. Memperkuat dengan pernyataan yang mengejutkan
15.
Menyatakan kutipan, baik dari Al-Qur’an, hadis, kitab-kitab terkemuka
atau sumber bacaan lainnya
16. Menceritakan pengalaman pribadi
17. Mengisahkan cerita faktual ataupun fiktif[42]
18. Menyatakan teori tertentu
19. Materi yang disampaikan bersifat inovatif dan
edukatif[43]
20. Penyajian materi dapat dikembangkan secara
induktif atau deduktif.[44]
3. Tahap
Penutupan
1. Mengemukakan ikhtisar (intisari) khutbah
2. Menyatakan kembali gagasan dengan kalimat singkat
dan bahasa yang berbeda
3. Memberikan dorongan untuk bertindak atau
mengamalkan yang disampaikan
4. Mengakhiri
dengan klimaks.
4. Tahap
Evaluasi
1. Meminta pendapat atau penilaian
dari perwakilan pendengar
2. Menerima kritik, masukan
ataupun saran dari pendengar untuk perbaikan atau peningkatan khutbah
berikutnya.
I.
PENUTUP
Khutbah Jum’at memiliki peran
penting dalam memperbaiki kehidupan keberagamaan kaum Muslimin. Selain
berfungsi sebagai media ‘amar ma’ruf nahi munkar, khutbah juga merupakan
media yang membangun hubungan kaum Muslimin untuk lebih mendekatkan diri kepada
Allah dan menyadarkan mereka dari hal-hal yang melalaikan akibat pengaruh hawa
nafsu dan aktivitas duniawi.
Dalam khutbah terkandung nilai-nilai
pendidikan yang sangat tinggi. Khatib dan para jama’ah sama-sama dituntut menerapkan kedisiplinan.
Seorang khatib dalam berkhutbah harus mematuhi dan melaksanakan kode etik dan
rambu-rambu dakwah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. Khatib harus
cermat dan berhati-hati dalam menyampaikan taushiahnya yang dilengkapi
dengan rukun dan syarat-syaratnya. Sebaliknya jama’ah, diwajibkan mendengar dan
mentadabburi materi khutbah dengan khusyu’ dan tertib, tanpa boleh
berkata-kata dan bersendagurau sedikit pun, karena hal demikian dapat
membatalkan ibadah, baik pada Shalat Jum’at, ‘Idul Fitri, maupun ‘Idul Adha.
Fenomena yang muncul belakangan ini
sering memperlihatkan berbagai kekeliruan dalam tampilan khutbah. Dalam banyak
hal, khatib-khatib yang tampil di mimbar Jum’at bukanlah juru dakwah yang
benar-benar dipersiapkan dengan seperangkat ilmu dan keterampilan dalam
berkhutbah. Mereka tampil secara otodidak dengan modal pandai berbicara dan
mempergunakan beberapa ayat dan hadis, tanpa belajar dan berupaya mendalami
model dan tuntunan berkhutbah yang telah disunnahkan oleh Rasulullah saw.
Akhirnya kekeliruan ini sering terjadi dan terus berlanjut sebagai warisan dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
Untuk menyikapi dan mengatasi hal
yang demikian, diperlukan adanya bimbingan dan pelatihan yang terpadu dan
serius di kalangan para juru dakwah dan calon da’i agar memperoleh pencerahan
dan bangkit dengan tegar meninggalkan berbagai kekeliruan yang selama ini
terdapat dalam aktivitas khutbah. Semoga para juru dakwah yang telah dibekali
dengan berbagai ilmu dan keterampilan dalam khutbah, dapat menjadi
“khatib-khatib teladan” yang dapat membimbing dan merangkul kaum Muslimin
menjadi “khaira ummat”, yakni sebaik-baik ummat yang memperoleh
kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Fastabiqul Khairat,
Wallahul Musta’an.
Medan, 01 Januari 2014
Penulis,
Mohammad
Al Farabi, M.Ag
DAFTAR PUSTAKA
al-Asfahani, al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, Beirut:
Dar al-Fikr, tt.
Asy’ats, Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, Juz 2, Tunisia:
Dar al-Dakwah wa Dar Sahnun, 1990.
Atceh, Abu Bakar, Beberapa
Catatan Mengenai Dakwah Islam, Semarang: Ramadhani, 1971.
Ali Aziz, Mohammad, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2004.
al-Ghazali, Al-Imam Abi Hamid, Ihya’ Ulum al-Din,
Juz 1, tahqiq Sayyid ‘Imran,
Kairo: Dar al-Hadis, 2004.
Ja’fi, Muhammad ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Juz 3, Tahqiq Musthafa Dieb al-Bukha, Beirut: Dar Ibn Katsir
al-Yamamah,1987.
Mahfuz, Ali, Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zi wa
al-Khitabah, Beirut: Dar al-Ma’arif, t.t.
al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir
Al-Maraghi, Juz 8, Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ah Musthafa al-Babi al-Halaby wa Auladuh, 1972.
al-Mishri, Jamal al-Din Muhammad ibn Makram ibn al-Manzhur al-Afriqi,
Lisan al-‘Arab, Jilid 1, Beirut: Mu’assasah al-a’mali li al-Mathbu’at,
2005.
Munsyi, Abdul Kadir, Metode Diskusi dalam Dakwah, Surabaya:
Al-Ikhlas, 1992.
Naisaburi, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah al-Hakim, Al-Mustadrak
‘ala al-Shahihain,
Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.
Naisaburi, Abu al-Husin Muslim ibn
al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim,
Juz 4, Cet. I, Kairo: Dar al-Hadis, 1991.
Nasa’i, Abu ‘Abd ar-Rahman Ahmad ibn Syu’aib, As-Sunan al-Kubra,
Juz 8, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1991.
Nasional, Kementerian Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
al-Nawawi, Imam, Raudhah al-Thalibin, Jilid 2, Beirut:
Dar al-Hadis, 2005.
al-Shan’ani, Muhammad Isma’il, Subul al-Salam, Juz 3, Beirut:
Dar al-Hadis, 2006.
Sulami, Muhammad ibn Isa Abu ‘Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi,
Juz 4, Tahqiq Ahmad Muhammad Syaqir, Beirut: Dar Ihya’ al-Turas
al-‘Arabiy, tt.
Su’ud ibn Malluh ibn Sulthan al-‘Unazi, Al-Inba’ bi Akhta’
al-Khuthaba’, terj. M. Iqbal Kadir, Tigapuluhtiga Kesalahan Khatib
Jum’at, Jakarta: Pustaka Al-Tazkia, 2007.
al-Syafi’i, Muhammad ibn Idris, Al-Umm, Juz 1, Beirut: Dar
al-Fikr, 1983.
Syaibani, Ahmad ibn Hanbal Abu ‘Abdullah, Musnad Ahmad ibn Hanbal,
Juz 2, Mesir: Mu’assasah Qurthabah, tt.
al-Thabrani, Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub Abu al-Qasim, Al-Mu’jam
al-Kabir, Juz 3, Tahqiq Hamdi ibn ‘Abd al-Majid as-Salafy, Mosul: Maktabah
al-Zahra, 1983.
[1]Hikmah
adalah perkataan tegas yang disertai dengan dalil-dalil yang memperjelas
kebenaran dan menghilangkan keraguan. Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
(Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ah Musthafa
al-Babi al-Halaby wa Auladuh, 1972), Juz 8, h. 34.
[2]Mohammad
Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), h. 12.
[3]Jamal
al-Din Muhammad ibn Makram ibn al-Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan
al-‘Arab (Beirut: Mu’assasah al-A’mali li al-Mathbu’at, 2005), Jilid 1, h.
1113-1114.
[4]Kementerian
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), h. 564.
[5]Abu Bakar
Atceh, Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam (Semarang: Ramadhani, 1991),
h. 6.
[6]Ali
Mahfuz, Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zi wa al-Khitabah (Beirut:
Dar al-Ma’arif,
t.t.), h. 17.
[7]QS.
Al-Maidah: 67 dan QS. Ali Imran: 20.
[8]QS.
Al-A’raf: 62 dan 68.
[9]QS. Yasin:
50.
[10]QS.
Al-Isra’: 10.
[11]QS.
Al-Baqarah: 119.
[12]Abu
Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats, Sunan Abi Dawud (Tunisia: Dar al-Dakwah
wa Dar Sahnun, 1990), h.
Juz 2, h. 677, hadis no. 4840.
[13]Ibid.,
Juz 2, h. 677, hadis no. 4841.
[14]Abi
al-Husin Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim
(Kairo: Dar al-Hadis, 1991), Juz 5, h. 390, hadis no. 2032.
[15]Muhammad
ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, Shahih al-Bukhari, Tahqiq
Musthafa Dieb al-Bukha (Beirut: Dar Ibn
Katsir al-Yamamah, 1987), Juz 4, h. 51, hadis no. 928.
[16]Al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, Juz 4, h. 63, hadis no. 934.
[17]Muhammad
ibn Yazid Abu Abdillah al-Qazwaini/ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Tahqiq
Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Fikri, tt.), Juz 3, h. 478, hadis no.
1163.
[18]Abu ‘Abd
al-Rahman Ahmad ibn Syu’aib al-Nasa’i, Al-Sunan al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah), Juz 3, h. 112,
hadis no. 1393.
[19]Ibn
Majah, Sunan Ibn Majah, Juz 6, h. 86, hadis no. 1967.
[20]Muslim, Shahih
Muslim, Juz 1, h. 7, hadis no. 1.
[21]Ahmad
ibn Hanbal Abu Abdullah Al-Syaibani, Musnad Ahmad ibn Hanbal (Mesir:
Mu’assasah Qurthabah, tt.), Juz 5, h. 297, hadis no. 22905.
[22]Muslim, Shahih
Muslim, Juz 5, h. 407, hadis no. 2046.
[23]Al-Imam
Abi Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), tahqiq
Sayyid ‘Imran, Juz 1, h. 238.
[24]Muslim, Shahih
Muslim, Juz 5, h. 403, hadis no. 2042.
[25]Imam
al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Hadis, 2005), Jilid 2, h.
32.
[26]Su’ud ibn Malluh ibn Sulthan al-‘Unazi, Al-Inba’ bi
Akhta’ al-Khuthaba’, terj. M. Iqbal Kadir, Tigapuluhtiga Kesalahan
Khatib Jum’at (Jakarta: Pustaka Al-Tazkia, 2007), h. 66-67.
[27]Muslim, Shahih
Muslim, Juz 5, h. 427, hadis no. 2063.
[28]Dawud, Sunan
Abi Dawud, Juz 4, h. 15, hadis no. 1125.
[29]Muslim, Shahih
Muslim, Juz 5, h. 429, hadis no. 2065.
[30]Muslim, Shahih
Muslim, Juz 3, h. 13, hadis no. 2052.
[31]Muhammad
Isma’il al-Shan’ani, Subul al-Salam (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), Juz 3,
h. 170.
[32]‘Unazi, Al-Inba’,
h. 84.
[33]Al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, Juz 3, h. 211, hadis no. 717.
[34]Muhammad
ibn Idris al-Syafi’i, Al-Umm (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz 1, h. 230.
[35]Sulaiman
ibn Ahmad ibn Ayyub Abu al-Qasim al-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir, Tahqiq
Hamdi ibn ‘Abd al-Majid al-Salafy (Mosul: Maktabah al-Zahra, 1983), Juz 3, h. 327.
[36]‘Unazi, Al-Inba’,
h. 147.
[37]Muslim, Shahih
Muslim, Juz 5, h. 414, hadis no. 2053.
[38]‘Unazi, Al-Inba’,
h. 156.
[39]Abdul
Kadir Munsyi, Metode Diskusi dalam Dakwah (Surabaya: Al-Ikhlas, 1992),
h. 29.
[40]Al-Raghib Al-Asfahani, Mu’jam Mufradat
Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), h. 126.
[41]Al-Maraghi,
Tafsir Al-Maraghi, h. 34.
[42]Faktual,
maksudnya sesuai dengan kejadian sebenarnya, sedangkan fiktif maksudnya kisah
yang berasal dari karangan manusia yang tidak berdasarkan kejadian yang
sebenarnya, tetapi bisa dijadikan pelajaran (‘ibrah).
[43]Inovatif,
maksudnya mengandung unsur pembaharuan atau pengembangan gagasan baru,
sedangkan edukatif maksudnya mengandung nilai-nilai pendidikan terhadap umat.
[44]Induktif,
maksudnya menyampaikan materi khutbah yang bertolak dari masalah khusus lalu
dikembangkan secara umum, sedangkan deduktif maksudnya menyampaikan materi
khutbah bertolak dari keumuman muatan teks Al-Qur’an atau hadis, kemudian
mengecilkan pembahasannya kepada persoalan khusus yang aktual dihadapi umat.